1. Pengertian
Rekrutmen Politik
Lembaga politik mempunyai tiga fungsi sebagaimana yang telah
digambarkan oleh Almond sebagai berikut;
a.
Sosialisasi politik
Merupakan
fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan
pendudukatau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administratif, dan yudisial tertentu.
b.
Rekrutmen politik
Merupakan
fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan
melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi,
mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian.
c. Komunikasipolitik
Merupakan
jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur
yang ada dalam sistem
politik.
Menurut Fadillah
Putra dalam bukunya yang bejudul Partai
Politik dan Kebijakan Publik, rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi
atau rekrutmen anggota-anggota kelompoknya dalam jabatan-jabatan administrasi
maupun politik.
Berdasarkan
pengertian di atas, rekrutmen politik biasanya mencakup pemilihan, seleksi dan
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah
peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya
(Surbakti,1992:118). Pengangkatan
ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal
seperti dalam sistem politik secara totaliter, atau manakala partai ini
merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang
membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi.Jadi, fungsi rekrutmen
merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Czudnowski
seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra dalam bukunya yang berjudul “Partai Politik dan Kebijakan Publik” ,
mengemukakan definisi rekrutmen politik yaitu:“The process through which individuals or group of individuals are inducted
into active political roles”
“Suatu proses
yang berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang dilantik
dalam peran-peran politik aktif.”
Menurut
Czudnomski dalam bukunya Fadillah Putra yang berjudul “Partai Politik dan kebijakan Publik” mengemukakan mekanisme
rekrutmen politik antara lain:
a. Rekrutmen
terbuka, di mana syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat
diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi
elit politik yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini
memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit
politiknya. Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Jika dihubungkan dengan
paham demokrasi, maka cara ini juga berfungsi sebagai sarana rakyat mengontrol
legitimasi politik para elit. Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen
terbuka adalah:
1.
Mekanismenya demokratis
2.
Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan
masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki
3.
Tingkat akuntabilitas pemimpin tinggi
4.
Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis dan
mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.
b. Rekrutmen
tertutup, berlawanan dengan cara rekrutmen terbuka. Dalam rekrutmen tertutup,
syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas diketahui umum. Partai
berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari dalam tubuh partai itu
sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan
menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang
kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi sebagai sarana elit
memperbaharui legitimasinya.
Berdasarkan
beberapa penjabaran tentang mekanisme rekrutmen politik di atas, maka sistem
terbuka mencerminkan partai tersebut betul-betul demokratis dalam menentukan
syarat-syarat dan proses yang ditempuh dalam menjaring calon elit politik.
Sistem yang demokratis akan dapat mencerminkan elit politik yang demokratis
pula. Sedangkan mekanisme rekrutmen politik yang tertutup akan dapat
meminimalkan kompetisi di dalam tubuh partai politik yang bersangkutan, karena
proses yang ditempuh serba tertutup. Sehingga masyarakat kurang mengetahui
latar belakang elit politik yang dicalonkan partai tersebut.
2. Ada
beberapa variabel penting dalam proses rekrutmen dan pengembangan kader.
a.
Kualitas
Rekrutmen
Partai harus memiliki kualifikasi standar untuk merekrut
para kandidat.Biasanya, dalam era baru demokrasi, partai merekrut para kandidat
yang bersedia untuk memberikan kompensasi politik dan keuangan untuk pencalonan
dirinya.Kualifikasi standar sebaikmya mencakup aspek-aspek, seperti integritas,
dekat dengan rakyat (societal roots), pengalaman politik, keterampilan dasar,
dan sesuai dengan platform partai.
i.
Standarisasi
Rekrutmen dan Kepatuhan
Standarisasi
rekrutmen harus dilakukan secara konsisten di seluruh kantor daerah partai
politik, guna memastikan praktek rekrutmen yang umum dan para kandidat memiliki
kualifikasi yang sama diseluruh tingkatan.
ii.
Desentralisasi
Rekrutmen
Hampir
tidak mungkin bagi kantor pusat partai politik untuk memverifikasi seluruh
proses seleksi secara efektif, sehingga diperlukan desentralisasi dalam
tingkatan tertentu. Kantor pusat partai seharusnya berpartisipasi secara aktif
dalam menyeleksi kandidat parlemen di tingkat nasional, akan tetapi ketika
menyeleksi kandidat provinsi dan kecamatan kantor pusat partai seharusnya juga
memiliki peran utama. Dalam mengimplementasikan struktur yang
terdesentralisasi, kantor pusat partai hanya menyediakan mekanisme kontrol
untuk memastikan unsur kepatuhan sesuai dengan standarisasi yang tersedia dalam
penyeleksian. Kantor daerah partai dapat berpartisipasi dalam menyeleksi para
kandidat di tingkat administrasi yang lebih tinggi dengan memberikan masukan
dan informasi tentang kandidat. Singkatnya, terdapat tiga aspek utama dalam
rekrutmen, antara lain kualitas kualifikasi, standarisasi dan kepatuhan, dan
tingkat desentralisasi.
iii.
Kualitas
Pengembangan Kader
Kegiatan
pengembangan kader di dalam partai politik harus berkaitan dengan kualilfikasi
nominasi. Bahan untuk pengembangan kader harus memasukkan pembangunan
integritas, mendorong dan melatih para kader guna membangun kedekatan dengan
masyarakat dan program partai politik, pelatihan keterampilan dasar di dalam
organisasi, dan promisi ideologi dan platform partai. Pengembangan kader
dilakukan guna mencapai tujuan sebagai berikut: Petama, membangun partai dengan
sumber internal untuk pemilihan para kandidat dan memastikan proses regenerasi
di dalam tubuh partai dengan memunculkan beberapa pemimpin partai masa depan. Kegiatan
pengembangan kader yang dilakukan secara regular merupakan indikator kualitas proses di dalam
partai.
iv.
Standarisasi,
Kepatuhan, dan Desentralisasi Pengembangan kader
Sama
halnya dengan rekrutmen, konsistensi di seluruh tingkatan yang berbeda dalam
organisasi partai memastikan kader dengan kualitas yang merata. Partisipasi
dari anggota partai di tingkatan yang berbeda dalam organisasi juga dapat
memastikan efisiensi dalam proses yang berarti kader daerah tidak harus
bergantung hanya pada kantor pusat partai.
b. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi dalam Pelaksanaan Rekrutmen Politik
Faktor
pertama, ini bukan mempertanyakan atau membahas siapa yang akan menjadi bakal
calon pemimpin untuk negeri ini kedepannya melainkan lebih menekankan terhadappersoalan disekitar
politik,kekuasaan rill dan berada disuatu historis.
Persoalan disekitar politikberarti setiap calon-calon pemimpin
yang akan dipilih harus mampu mengoptimalisasikan segala tenaga dan upayanya untuk menyeimbangkan segala
polemik-polemik yang sedang terjadi dinegara ini untuk dipersempit
dampaknya.Sehingga iming-iming tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luas
untuk memilihnya sebagai calon pemimpin kedepannya.
Kekuasaanrill berarti seorang calon pemimpin
harus memiliki teknik yang tersimpan didalam konsep pikiranya untuk
dikembangkan ketika telah menjadi pemimpin.Konsep tersebut berisi suatu cara
bagimana mempengaruhi masyarakat luas sehingga mampu dipercaya untuk memimpin
dalam periode yang lama dan abadi.
Unsur yang terakhir,berada dalam suatu historis artinya setiap pemimpin otomatis
menginginkan nama dan jasa-jasanya selalu terekam dalam benak pikiran
masyarakat dan setiap calon pemimpin harus mampu merangkai konsep tersebut
sebelum dirinya terpilih menjadi pemimpin.
Rekrutmen politik memiliki suatu pola-pola dalam
konsepnya.Apabila kita mengkaji pola-pola tersebut maka kita akan mnegetahui bahwa sistem
nilai,perbedaan derajat,serta basis dan stratifikasi sosial terkandung di dalamrekrutmen
politik.Pola-pola rekrutmen politik ini secara tidak disengaja menjadi
indikator yang cukup penting untuk melihat pembangunan dan perubahan suatu
negara.Di dalam pola-pola ini memiliki keterkaitan antara rekrutmen dan
perekonomian suatu negara mampu menkaji pergeseran ekonomi
masyarakat,infrastruktur politik,serta derajat politisasi dan partisipasi
masyarakat.Artinya pemimpin-pemimpin yang baru akan membentuk
kebijakan-kebijakan terbarunya yang mengarah demi kemajuan negaranya serta faktor politik menciptakan terjadinya
iklim politik yang cukup mempengarauhi pergerakan ekonomi suatu Negara di dalamnya.
c. Prosedur-prosedur yang
Berlaku untuk Mendapatkan Suatu Peran
Politik
i.
Pemilihan
umum
Seluruh
masyarakat Indonesia setiap 5 tahun sekali melaksanakan pemilihan umum yaitu
kegiatan rakyat dalam memilih orang atau sekelompok orang untuk menjadi
pemimpin bagi rakyatnya,pemimpin Negara,atau pemimpin di dalam pemerintahan dan
merupakan mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
warga Negara dalam proses memilih sebagian rakyatnya menjadi pemimpin di dalam pemerintahan.
ii.
Ujian
iii.
Training
formal
iv.
Sistem
giliran
Sedangkan menurut teori Almond dan
Powell prosedur-prosedur rekrutmen politik terbagi dalam dua bagian yaitu:
Prosedur
tertutup, artinya
rekrutmen dilakukan oleh elit partai yang memiliki kekuasaan untuk memilih
siapa saja calon-calon yang dianggap layak diberikan jabatan berdasarkan skill
dan kapasitas yang dimilikinya untuk memimpin.Sehingga prosedur ini dianggap
prosedur tertutup karena
hanya ditentukan oleh segelintir orang.
Prosedur
terbuka, artinya
setiap masyarakat berhak untuk memilih siapa saja yang bakal menjadi calon
pemimpin di dalam negaranya serta pengumuman hasil pemenang dari kompetisi
tersebut dilaksanakan
secara terbukadan terang-terangan dikenaldengan istilahLUBER (Langsung Umum Bebas dan
Rahasia), JURDIL (Jujur dan Adil)
d. Jalur-jalur
Politik dalam Rekrutmen Politik
Jalur koalisi
partai atau pimpinan-pimpinan partaiartinya koalisi-koalisi partai merupakan bagian terpenting di dalamrekrutmen
politik karena sebagian besar kesepakatan dan pengangkatan politik di adopsi
dari hasil koalisi-koalisi
antarpartai yang berperan dalam suatu lingkup politik.Artinya rekrutmen politik
tidak terlepas dari peranan koalisi partai.
Jalur rekrutmen
berdasarkan kemampuan-kemampuan dari kelompok atau
individuartinya
jalur ini menjadi kriteria dasar dalam perekrutan seseorang karena dinilai dari
berbagai segi yaitu kriteria-kritreia tertentu,distribusi-distribusi
kekuasaan,bakat-bakat yang terdapat di dalam masyarakat,langsung tidak langsung
menguntungkan partai politik.
Jalur rekrutmen
berdasarkankaderisasiartinyasetiap
kelompok-kelompok partai harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-anggotanya
yang dianggap mampu dan cakap dalam mendapatkan jabatan-jabatan politik yang
lebih tinggi jenjangya serta mampu membawamemobilisasi partai-partai politiknya
sehingga memberi pengaruh besar dikalangan masyarakat.
Jalur rekrutmen
politik berdasarkan ikatan promodial.Dizaman modern ini jalur rekrutmen promodial tidak menutup
kemungkinan terjadi didunia politik.Fenomenal itu terjadi karena adanya
hubungan kekerabatan yang dekat antara orang perorangan yang memiliki jabatan
politik sehingga ia mampu memindahtangankan atau memberi jabatan tersebut kepada kerabat
terdekatnya yang dianggap mampu dan cakap dalam mengemban tugas
kenegaraan.Fenomena ini dikenal dengan nama “rekrutmen politik berdasarkan
ikatan promodial”.
e. Pembagian
Jabatan di dalam
Politik
Jabatan
politik artinya
jabatan yang diperoleh sebagai dari hasil pemilihan rakyatnya atau yang
ditunjuk langsung oleh pemerintah dan dikenal sebagai seorang “politikus”.Masa
jabatanya hanya dua kali periode.
Jabatan
administratif
artinya jabatan yang diperoleh secara manual melalui tahap-tahap pendidikan dan
pelamaran kerja.Jabatan ini dianggap pasti dan mampu menjamin hidup para
“administrator” karena masa jabatanya berlangsung lama.Para administrator ini
dikenal sebagai atribut negara karena menjadi indikator pelengkap dan pendukung
dalam membantu tugas para politikus.
f. Sistem Perekrutan
Politik Terdiri dari Beberapa Cara
a. Seleksi pemilihan melalui ujian
b. Latihan(training) Kedua hal tersebut
menjadi indikator
utama didalam
perekrutan politik
c. Penyortiran atau penarikan undian(cara
tertua yang digunakan di Yunani kuno)
d. Rotasi memiliki tujuan mencegah
terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu
adanya pergantian secara periode dalam jabatan-jabatan politik.
e. Perebutan kekuasaan dengan menggunakan
atau mengancam dengan kekerasan.Cara ini tidak patut dicontoh karena untuk
menjadi seorang pemimpin tidaklah harus melakukan tindakan-tindakan tidak
terpuji karena kita telah dididik dengan baik dan harus menerapkan
teknik-teknik yang baik pula dalam berpolitik.
f. Petronag artinya suatu jabatan dapat dibeli dengan mudah
melalui relasi-relasi terdekat.Petronag masih memiliki keterkaitanya dengan
budaya korupsi.
g. Koopsi(pemilihan anggota-anggota
baru)artinya memasukan orang-orang atau anggota baru untuk menciptakan
pemikiran yang baru sehingga membawa suatu partai pada visi dan misi yang
ditujunya.
A.
Penjabaran Kasus dan Data
1. Masa
Orde Baru
Pada masa Orde Baru rekrutmen politik
bersifat tertutup.Political recruitment
merupakan proses pengisian jabatan politik dalam penyelenggaraan politik
pemerintahan negara. Termasuk didalamnya adalah jabatan eksekutif (presiden
disertai dengan para menteri kabinet), legislatif (MPR, DPR, DPRD Tingkat I,
dan DPRD Tingkat II), dan jabatan lembaga tinggi negara lainnya, seperti
Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan lain-lain. Dalam negara yang
demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan
politik tersebut.Akan tetapi, di Indonesia, sistem rekrutmen
politiktersebut bersifat tertutup, kecuali anggota DPR yang berjumlah 400
orang.Pengisian jabatan di lembaga tinggi negara, seperti Mahkamah Agung. Badan
Pemeriksa Keuangan, Dewan Pertimbangan Agung, dan jabatan-jabatan dalam
birokrasi, dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Demikian juga dengan
anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100 orang dipilih melalui proses
pengangkatan. Demikian juga dengan keanggotaan di Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dimana tidak kurang dari 400 orang anggota lembaga tersebut dipilih
oleh DPRD Tingkat I, yang kemudian diangkat dengan surat keputusan presiden, sementara yang 100 orang diangkat oleh presiden, atas usul dari
organisasi kemasyarakatan. Sementara itu, dalam kaitannya dengan rekrutmen
politik lokal-seperti gubernur, bupati/wali kota-masyarakat didaerah hampir
tidak mempunyai peluang untuk untuk menentukan pemimpin mereka, karena kata
akhir tentang siapa akan menjabat ada di Jakarta. Jelas, proses rekrutmen
politik ini bertentangan dengan semangat demokrasi.Sebab, menurut kaidah
demokrasi yang umum berlaku, partai yang menang dalam suatu daerah diberi
kesempatan untuk membentuk eksekutif. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di
Indonesia, karena proses rekrutmen tersebut diatur dengan mekanisme lain.
Presiden memiliki “sumber daya kekuasaan
yang sangat besar”, yang dapat dipergunakan untuk memelihara kekuasaan yang
sedang dimilikinya, sehingga tidak ada seseorang pun atau institusi apa pun
yang akan mampu bersaing dengan presiden yang sedang memegang jabatan. Salah satu sumber daya kekuasaan
tersebut adalah presiden mengontrol Rekrutmen politik.
1) Presiden
mengontrol rekrutmen Lembaga Tinggi Negara
Sekalipun
presiden –menurut Undang-Undang Dasar 1945- mempunyai kedudukan yang sama
dengan beberapa lembaga tinggi negara yang lain, seperti: DPR, DPA, BPK, dan
MA, dalam kenyataannya presiden merupakan primus
inter pares, atau mempunyai posisi yang lebih menguntungkan, bahkan lebih
penting daripada lembaga tinggi negara lain tersebut. Hal lain terjadi karena
presiden mempunyai kewenangan untuk mengontrol rekrutmen dalam rangka pengisian
jabatan lembaga-lembaga tinggi negara tersebut.
Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat berjumlah 1.000 orang, yang terdiri atas 500 orang
anggota DPR dan 500 orang yang mewakili utusan daerah dan golongan. Di antara
sejumlah 1000 orang
tersebut, mekanisme pengisisan jabatannya adalah sebagai berikut:
-
400 orang dipilih melalui pemilu
-
200 orang diangkat langsung oleh
presiden, yaitu 100 orang untuk anggota MPR yang berasal dari anggota DPR
Fraksi ABRI, dan 100 orang lagi diangkat untuk mewakili golongan-golongan.
-
400 orang diusulkan oleh DPRDTingkat I,
setelah melalui pemilihan, dan keanggotaannya disahkan dengan surat keputusan
presiden.
Gambar 2. mekanisme pengisian jabatan MPR pada Orde Baru
Pengisiaan
jabatan lembaga tinggi negara yang lain juga dilakukan oleh presiden, seperti:
Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Mahkamah Agung, dan
Hakim-hakim Agung, serta Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Karena
tidak diakuinya mekanismechecks and balances, DPR boleh dikatakan
tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol proses rekrutmen tersebut. Tentu
saja, sekalipun tidak diperhatikan dengan jelas, rekrutmen politik seperti itu
merupakan cara yang paling efektif dalam rangka memberikan reward dalam arti yang luas kepada seseorang ataupun kelompok, yang
akhirnya akan menentukan mobilisasi dukungan kepada presiden.
2) Presiden
mengontrol rekrutmen eksekutif
Karena presiden
merupakan institusi yang memimpin kekuasaan eksekutif, ia juga mempunyai previlage tertentu untuk mengadakan rekrutmen guna
mengisi jabatan sejumlah posisi eksekutif dalam bidang pemerintahan, seperti:
anggota kabinet (menteri, menteri negara, dan menteri koordinator) dan
jabatan-jabatan yang setingkat dengan menteri, seperti Ketua/Kepala Lembaga,
misalnya Bakortanas, Bakorsutanas, Batan, Lapan, BPPT, dan LIPI. Seperti halnya
dengan pengisian jabatan lainnya, DPR sama sekali tidak memiliki kewenangan
untuk ikut ambil bagian dalam proses rekrutmen ini.
Mekanisme
seperti yang diungkapkan di atas mempunyai dampak positif ataupun negatif. Secara positif, mekanisme
rekrutmen tersebut dapat menciptakan suatu pemerintahan (dalam arti luas) yang
kompak, sehingga konflik antar lembaga-lembaga yang setingkat dapat dihindari.
Di samping itu, presiden merupakan figur yang paling tahu kriteria apa yang
dibutuhkan untuk memilih sejumlah staf yang mampu menjalankan kepercayaannya.
Sisi negatifnya, mekanisme seperti ini memberikan kewenangan kepada presiden
untuk memilih dan mengangkat orang-orang yang pada prinsipnya selalu diperlukan
untuk mendukung kepentingan politik presiden sendiri. Akibat selanjutnya
adalah, mekanisme kontrol antara satu institusi terhadap institusi yang lain tidak
dapat dijalankan dengan baik, apalagi dalam masyarakat kita dimana tata nilai
budaya dapat menghambat seseorang untuk mengekspresiakan apa yang terdapat
dalam pikirannya dengan seutuhnya.
Dalam masa
pemerintahan Orde Baru, pergantian kabinet dilakukan secara teratur selama lima
tahun sekali. Presiden sendiri yang akan menentukan siapa yang akan menduduki jabatan
apa. Tidak jarang dalam proses rekrutmen ini terjadi kejutan-kejutan,
karena yang bersangkutan tidak mengira akan dipilih oleh presiden untuk menjadi
menteri atau pejabat yang setingkat dengan itu. Biasanya, sebelum pengumuman
pembentukan kabinet, spekulasi dan gosip selalu bermunculan tentang siapa-siapa
yang akan menjadi menteri, dan siapa-siapa yang tidak akan diangkat lagi oleh
presiden. Hal ini menjadi menarik dan merupakan salah satu ciri khas dari
perpolitikan Indonesia, akibat rekrutmen politik kita yanng tidak terbuka.
3) Presiden
mengontrol rekrutmen organisasi politik
Hal lain yang
berhubungan dengan rekrutmen politik ini adalah kenyataan bahwa Lembaga
Kepresidenan juga mengontrol secara langsung rekrutmen pengurus partai-partai politik di Indonesia. Siapa yang
akan menjadi pimpinan partai politik, terutama ketua partai, secara langsung
atau tidak, dikontrol olehnya. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan kongres,
muktamar, ataupun musyawarah nasional dari partai-partai politik di Indonesia,
dapat kita jadikan kasus penelaahan.
Pada tahun 1968,
Partai Muslim Indonesia, yang kemudian menjadi Parmusi, mengadakan Muktamar
Nasional yang pertama di Malang, Jawa Timur.Arena muktamar dengan semangat
demokrasi yang kuat kemudian memilih Mr. Mohammad Roem sebagai ketua.Tetapi,
pihak pemerintah tidak menerima kehadiran Roem, karena beliau dan
kawan-kawannya merupakan komponen yang sangat penting dalam tubuh partai
Masyumi, sebuah partai yang dibubarkan oleh Soekarno tahun 1960.Asisten Pribadi
(Aspri) Presiden kemudian mengirim telegram yang mengingatkan PMI, agar
konsensus dengan presiden dipegang.Akhirnya, Partai Muslim Indonesia memilih H.
Djarnawai Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai ketua dan sekretaris jendral
partai tersebut. Tetapi, ketika menjelang diadakannya pemilu yang pertama pada
masa Orde Baru, kepemimpinan Djarnawai Hadikusumo dan Lukman Harun diambil alih
oleh John Naro dan Imran Kadir atas bantuan Opsus-nya
Ali Moertopo, dengan alasan: Djarnawai Hadikusumo dan Lukman Harun tidak dapat
bekerja sama dengan pemerintah dan ABRI. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu,
akhirnya pemerintah menunjuk H.M.S. Mintaredja, S.H. sebagai ketua partai tersebut,
yang kemudian diteruskan oleh John Naro sampai tahun 1989.
Kasus yang sama
dapat kita amati dalam rekrutmen Partai nasional Indonesia, yang kemudian
berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Ketika PNI mengadakan Kongres
Nasional di Senarang, Jawa Tengah, tahun 1969, sudah hampir dapat dipastikan
bahwa yang akan menjadi ketua partai tersebut adalah Hardi, S.H. tetapi, karena
Hardi dianggaptidak akan dapat bekerja sama dengan pemerintah,Opsus-nya Ali Moertopo secara langsung
terlibat dalam kongres tersebut, dengan memaaksa peserta kongres untuk memilih
Hadisubono, S.H. menjadi ketua. Sejak itu, rekrutmen kepemimpinan partai
tersebut selalu ramai dan melibatkan pemerintah, seperti proses terpilihnya
Soerjadi sebagai ketua PDI pada 1985, yang melibatkan Menteri Dalam Negeri,
Soepardjo Rustam. Kemudian, kita juga mengetahui, bahwa Surjadi yang hampir
secara mutlak mendapat dukungan pada Kongres PDI di Medan bulan Agustus 1993,
kemudian digagalkan.Ketika partai tersebut mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya
pada akhir 1993, pemerintah juga terlibat secara langsung memaksa kongres
memilih calonn yang didukung oleh pemerintah. Hanya saja, KLB PDI menolak
proses pemaksaan tersebut, dengan sepenuhnya mendukung Megawati Soekarno Putri
sebagai ketu yang baru. Itu pun setelah melalui proses yang teramat panjang dan
melelahkan.
Bagaimana dengan
rekrutmen Golongan Karya?Presiden adalah Ketua Dewan Pembina Partai Golkar.
Sehingga, boleh dikatakan bahwa presiden mempunyai hak veto untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua dan anggota
pengurus yang lain bagi Golkar. Mekanisme Munas Golkar pada Oktober 1993
merupakan calon konkret.Untuk pertama kalinya dalam sejarah partai tersebut
ketuanya adalah dari kalangan sipil, yaitu H. Harmoko.Sementara itu, kalau kita
mengamati Munas tersebut, tidak semua angota delegasi atau DPD Tingkat I dan II menyatakan
dengan tegas memilih Harmoko. Tetapi Dewan Pembina sudah menentukan siapa yang
akan menjadi formatur pembentukan pengurus partai Golkar yang diketuai Menteri
B.J. Habibie. Dugaan umum masyarakat yang berkembang jauh sebelum Munas
dilakukan, ternyata menjadi kenyataan, Harmoko terpilih oleh anggota formatur
menjadi Ketua Golkar.
Larangan masuk partai politik bagi
PNS, tidak berlaku terhadap Golkar. Bahkan PNS dihimpun dalam KORPRI (Korp
Pegawai Negeri) dan diwajibkan aktif dalam Golkar sebagai perwujudan loyalitas
tunggal (mono loyalitas).Demikian juga perwakilan ABRI ditampung melalui jalur
khusus dalam Golkar disamping
ada perwakilan sendiri dalam DPR.Akibatnya bisa dibayangkan, persaingan antar
partai menjadi tidak fair.ABRI sebagai alat negara diubah menjadi alat
kekuasaan pemerintah untuk menindas lawan-lawan politiknya.
2.
Masa Sekarang
MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum.Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.Sebelum reformasi,
MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut
aturan yang ditetapkan undang-undang.Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah
692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD.Masa jabatan
anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang
baru mengucapkan sumpah/janji. Oleh
karena itu, pada masa sekarang presiden tidak lagi dapat mengontrol rekrutmen
politik.
Sembilan bulan pertama tahun 2004
ditandai dengan berbagai aktivitas politik menyambut pemilihan umum untuk
menentukan anggota dewan dan presiden. Pemilihan umum untuk memilih DPR yang berjumlah 550 kursi (kini semuanya
dipilih oleh rakyat), DPRD provinsi, kabupaten, dan kotamadya, dan anggota
sebuah lembaga nasional yang baru, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang
beranggotakan 128 orang, digelar pada bulan April. DPD dipandang sebagai
sejenis senat, walaupun pada waktu selanjutnya ia masih harus berjuang untuk
menentukan perannya yang jelas dalam kehidupan perpolitikan Indonesia. MPR—yang
digunakan Soeharto untuk melegitimasi kepresidenan dan berbagai
kebijakannya—kini terdiri dari DPR dan DPD yang duduk bersama dan, karenanya, merupakan
sebuah lembaga yang sepenuhnya dipilih sepenuhnya oleh rakyat. MPR tidak akan
lagi berhak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang akan dipilih secara
langsung oleh rakyat.
Pemilihan umum April ini membutuhkan
dukungan logistik yang luar biasa besar. Jumlah pemilih keseluruhan 147 juta,
terdapat hamper 450.000 kandidat yang bersaing dan sekitar 585.000 tempat
pemungutan suara, serta lebih dari 600 juta kertas suara harus dicetak. Komisi
pemilihan umum sebagian besar diawaki oleh kalangan aktivis masyrakat sipil,
yang dipandang akan mampu menggawangi pemilihan umum yang jujur dan adil.
Terlepas dari munculnya beberapa persoalan, pemulihan umum berlangsung bebas,
adil, dan damai.Meskipun demikian, prosesnya tidak sepenuhnya terbebas dari
korupsi, yang akhirnya mengakibatkan beberapa anggota komisi pemilihan umum
terseret ke meja hijau dan dijatuhi hukuman.
Hasil pemilihan umum parlemen pada bulan
April 2004 di tingkat nasional adalah sebagai berikut (dengan mengabaikan
beberapa inkonsistensi yang sifatnya minor dalam berbagai tabulasi hasil yang
ada).
Partai
|
Suara
sah
|
%
suara sah
|
Kursi
parlemen
|
%
kursi parlemen
|
Golkar
|
24.480.757
|
21,6
|
128
|
23,3
|
PDIP
|
21.026.629
|
18,5
|
110
|
20,0
|
PKB
|
11.989.564
|
10,6
|
53
|
9,6
|
PPP
|
9.248.764
|
8,2
|
57
|
10,4
|
Demokrat
|
8.455.225
|
7,5
|
58
|
10,5
|
PKS
|
8.325.020
|
7,3
|
45
|
8,2
|
PAN
|
7.303.324
|
6,4
|
54
|
9,8
|
Lain-lain
|
22.633.131
|
19,9
|
45
|
8,2
|
Total
|
113.462.414
|
100,0
|
550
|
100,0
|
Ada beberapa hasil yang layak
diperhatikan. Dukungan untuk PDIP pimpinan Megawati menurun secara drastis dari
33,7 persen pada pemilu tahun 1999 menjadi 18,5 persen pada tahun 2004. Namun
demikian, dukungan untuk Golkar tetap cukup stabil : 22,4 persen pada tahun
1999, 21,6 persen pada tahun 2004. PKB yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid
menurun dari 12,6 persen (1999) menjadi 10,6 persen (2004), tetapi tetap
menjadi sebuah parati politik yang signifikan. Beberapa partai baru muncul
sebagai kekuatan yang berarti, khususnya Partai Demokrat yang dipimpin oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, yang
memperoleh 7,5 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang memenangkan
7,3 persen. PKS merupakan sebuah partai yang dilandaskan pada Islam
fundamentalis, namun dalam kampanye pemilunya tidak mengusung isu-isu Islam
tapi penentangan terhadap korupsi dan tuntutan akan keadilan dan kesejahteraan
yang lebih merata. Di dalam pemilihan anggota DPRD di Jakarta, PKS bahkan
muncul sebagai partai terbesar karena mendulang hampir seperempat dari seluruh suara.
Masih terdapat tanda-tanda loyalitas
politik yang berbeda antara luar Jawa dan Jawa, dimana Golkar lebih kuat di
kawasan yang disebut pertama.Partai ini memperoleh 70 (55 persen) dari 128
kursi di DPR-nya dar luar Jawa, semetara PDIP mendapatkan 72 (66 persen) dari
110 kursinya dari konstituennya di Jawa.Kaum perempuan masih belum terwakili
secara baik. Terlepas dari harapan bahwa 30 persen dari kandidat yang diajukan
partai adalah kaum perempuan, pada akhirnya hanya 12 persen dari anggota dewan
yang terpilih adalah dari kaum tersebut (1999: 9 persen). Persentasi anggota
DPR perempuan di antara partai-partai besar adalah 14 persen untuk Golkar dan
Partai Demokrat serta 13 persen untuk PAN dan PKB. Walaupun 40 persen dari
kandidat yang diajukan PKS merupakan kaum perempuan, hanya tiga (7 persen) dari
calonnya yang terpilih sebagai anggota DPR adalah perempuan. Di DPD, 21 persen
anggotanya adalah kaum perempuan.
Untuk kali pertama dalam sejarah
Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.Pemilihan
ini dilaksanakan dalam dua putaran pada bulan Juli dan September 2004.Di
putaran pertama, semua pasangan calon calon Presiden dan Wakil Presiden diisi
oleh satu orang dengan latar belakang Islam yang kuat. Wiranto menjadi calon Presiden dari
Golkar, Megawati Sukarnoputri dari PDIP, Amien Rais dari PAN, Susilo Bambang
Yudhoyono dari Partai Demokrat, dan Hamzah Haz dari PPP. Lebih dari 155 juta
pemilih terdaftar untuk mencoblos dalam pemilihan yang sekali lagi berlansung
jujur dan adil ini. Megawati memenangi 26,6 persen suara sementara Susilo
Bambang Yudhoyono 33,6 persen. Maka, dalam pemilihan bulan September keduanya
saling bersaing.
Penting untuk dicatat bahwa dalam
pemilihan Presiden bulan Juli, sangat banyak pemilih tidak mendukung calon yang
diusung oleh partai yang mereka pilih pada bulan April, tetapi malah beralih ke
kandidat lain. Hal ini menegaskan bahwa pemilih Indonesia sangat individualis
dalam pengambilan keputusan mereka dan tidak mau tunduk pada seruan loyalitas
yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin partai dan kalangan yang disebut
pemegang otoritas tradisional seperti tokoh agama.Demokrasi baru Indonesia,
dengan kata lain, telah meresap dalam hingga ke tingkatan akar rumput. Banyak
pemilih terdaftar juga tidak menggunakan haknya dalam pemilihan umum tahun 2004
ini : 16 persen pada bulan April, hampir
20 persen pada bulan Juli dan mendekati 24 persen pada bulan September, mungkin
mencerminkan kelelahan mereka untuk mengikuti tahap pemilihan yang panjang
tersebut.
Era
reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat
politik. Proses rekrutmen parlemen berlangsung lebih terbuka dan kompetitif,
dengan campur tangan yang minimal dari tangan-tangan penguasa dan birokrasi.
Tetapi
perubahan itu bersifat transisional dan belum sempurna sehingga tidak mempunyai
kontribusi yang pasti terhadap konsolidasi demokrasi, khususnya di sektor
masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik parlemen, ada sejumlah
gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun demokrasi.
Proses
rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Pihak kandidat
sama sekali tidak mempunyai sense terhadap konstituen yang menjadi basisnya
karena dia hanya “mewakili” daerah administratif (bukan konstituen yang
sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan
responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga tidak tahu siapa
kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak akan membawa dan
mempertanggungjawabkan mandat. Masyarakat juga tidak bisa menyampaikan voice
untuk mempengaruhi kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar calon, karena hal
ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses dialog yang terbuka antara
partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak ada kontrak sosial
dimana masyarakat bisa memberikan mandat kepada partai. Masyarakat hanya
memberikan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai bisa mengisi
seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu. Masyarakat memang berpartisipasi
dalam proses rekrutmen, yakni dengan memberikan hak pilih dalam pemilu. Tetapi
vote dari masyarakat itu bukanlah partisipasi yang sebenarnya, kecuali hanya
sebagai ritual politik yang menempatkan masyarakat sebagai obyek mobilisasi.
Lebih dari sekadar vote, partisipasi adalah voice, akses dan kontrol yang
antara lain berlangsung dalam arena kontrak sosial antara partai dengan
konstituen.
Dalam
proses rekrutmen tidak dibangun relasi (linkage) yang baik antara partai
politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara numerik
sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan.
Berbagai organisasi masyarakat hanya ditempatkan sebagai underbow, sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan
sebagai basis perjuangan politik partai. Sebaliknya, pihak aktivis organisasi
masyarakat tidak memandang partai politik sebagai bagian dari gerakan sosial
(social movement) untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol negara, melainkan
hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan
kekuasaan.Akibatnya, para anggota parlemen hanya berorientasi pada kekuasaan
dan kekayaan, bukan pada misi perjuangan politik yang berguna bagi masyarakat.
Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis
dukungan massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit anggota
DPRD yang mengabaikan forum atau partisipasi ekstraparlementer, karena mereka
mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling absah dan partisipasi
itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.
Dalam
proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot”
terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin politik” atau “mesin politik”.
Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan
misi perjuangan.Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan karena mempunyai
visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para
pengusaha dicomot karena mempunyai duit banyak yang bisa digunakan secara
efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil
karena mereka mempunyai banyak penggemar.Para ulama (yang selama ini menjadi
penjaga moral) juga diambil karena mempunyai pengikut masa tradisional. Partai
politik secara mudah mengambil tokoh
ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin
menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para
aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya
tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam
partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme.Sekarang
pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika
undang-undang mewajibkan kuota 30% kursi untuk kaum perempuan.
Proses
kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen) tidak diisi dengan
pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog yang terbuka dan sebagai
arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya
sebagai ajang “show of force, banter-banteran knalpot, dan obral
janji”. Bagi para pendukung partai,
kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan ekspresi identitas
yang kurang beradab. Mereka bisa memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi,
kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis, menerima sembako atau sekadar
uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah
fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk
menyampaikan mandat dari masyarakat.
Proses
pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam konteks “massa mengambang”
yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka yang cukup panjang masyarakat
Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik secara sehat sehingga
menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan dengan
praktik-praktik mobilisasi (mobilized voters). Sekarang, meski ada kebebasan
yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum terjadi.Partai politik
tidak memainkan peran yang memadai dalam pendidikan politik kepada masyarakat.
Sampai sekarang sebagian besar rakyat Indonesia adalah silent majority, yang tenang, apatis (masa bodoh) dan tidak kritis
dalam menghadapi proses politik. Akibatnya budaya politik yang partisipatif
(civic culture) belum terbangun. Kondisi seperti ini tentu saja tidak
memungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif.
B.
Analisis
Pada Masa Orde
Baru, proses rekrutmen politik tidak dilaksanakan berdasar pada kualitas namun fungsi
rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Karena pada
masa itu proses rekrutmen politik mengalami banyak penyimpangan apabila dilihat
dari fungsi rekrutmen politik yang ideal. Contohnya seperti kasus yang ada di
atas, yaitu PNS dan ABRI diberikan posisi di dalam pemerintah yang melebihi
porsinya. Sebenarnya tidak masalah apabila PNS dan ABRI diberikan posisi di
dalam pemerintahan, jika mereka benar-benar dianggap mampu dalam menjalankan
tugas yang diamanatkan kepada mereka. Namun, posisi PNS dan ABRI disini
bukanlah untuk menunjang kinerja pemerintah. Melainkan sebagai suatu langkah
untuk mempertahankan Legitimasi Soeharto sebagai penguasa.
Pada masa
sekarang posisi ABRI dan PNS tidak menjadi alat untuk mempertahankan kedudukan
politik. Pada masa sekarang, proses rekrutmen politik lebih menjunjung tinggi
asas demokrasi dan transparansi. Presiden tidak lagi dapat mengontrolrekrutmen
politik karena dipilih langsung oleh rakyat. Porsi partisipasi politik
masyarakat juga lebih seimbang, juga tidak menyalahi peraturan perundangan
seperti Masa Orde Baru.
C.
Kesimpulan
Rekrutmen politik atau penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan
pemerintahan dilakukan agar nantinya pihak-pihak maupun
individu-individu yang terlibat merupakan orang-orang pilihan, sehingga dapat
menjalankan peranannya dengan semestinya.
Pada proses rekrutmen
politik pada masa orde baru, Presiden dapat mengontrol semua elemen sistem
politik untuk memperkuat kedudukannya. Partisipasi politik didominasi oleh satu
orsospol yaitu Golongan Karya (Golkar).
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan
signifikan dalam masyarakat politik. Proses rekrutmen jabatan
pemerintahan berlangsung lebih
terbuka dan kompetitif, dengan campur tangan yang minimal dari tangan-tangan
penguasa dan birokrasi.
Tetapi perubahan itu bersifat transisional dan belum
sempurna sehingga tidak mempunyai kontribusi yang pasti terhadap konsolidasi
demokrasi, khususnya di sektor masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik
dan jabatan pemerintahan, ada sejumlah gejala yang tidak kondusif bagi proses
membangun demokrasi.
Dari rekrutmen politik
di masa orde baru yang cenderung didominasi oleh satu golongan, terjadi konflik kepentingan dalam
pemerintahan. Pejabat pemerintahan lebih mementingkan kepentingan golongan
daripada kepentingan rakyat. Rakyat tidak mendapatkan haknya untuk bebas
beraspirasi. Sedangkan pada masa sekarang, sistem politik yang terbentuk lebih
demokratis karena proses rekrutmen yang dilakukan melibatkan rakyat secara
langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar