Badan legislatif
(parlemen) yaitu badan yang “legislate” atau membuat undang – undang yang
anggotanya – anggotanya merupakan representasi dari rakyat Indonesia dimanapun
dia berada yang dipilih melalui pemilihan umum.
Rousseau, tentang
Volonte Generale atau General Will yang menyatakan bahwa “rakyatlah yang
berdaulat, rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan”
Menurut
Miriam
Budiarjo, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau
kemauan umum ini dengan jalan mengikat seluruh masyarakat. Undang – undang yang
dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan – kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa
merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Susuanan keanggotakan
badan legislatif pada dasarnya menurut
Miriam Budiarjo, adalah beraneka ragam yaitu ada yang jumlahnya mencapai 1300
anggota seperti DPR Unisoviet (kini : Rusia), DPR Indonesia berjumlah 560 orang
dan ada yang kecil seperti DPR Pakistan, yaitu sebanyak 150 anggota :
System
penentuan anggota DPR beraneka ragam sifatnya, yaitu :
1.
Turun temurun (
sebagian majelis tinggi Inggris )
2.
Ditunjuk ( senat Kanada
)
3.
Dipilih, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
System penentuan atau
pemilihan diatas, berlaku pada pemerintahan sosialis atau kerajaan, sedangkan
dalam Negara modern pada umumnya anggota badan legislatif dipilih dalam
pemilihan umum dan berdasarkan system kepartaian. Perwakilan semacam ini
bersifat politik. Akan tetapi system ini tidak menutup kemungkinan beberapa
orang anggota dipilih tanpa ikatan pada sesuatu partai, tetapi sebagai orang
“independent”. Contoh, pada pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955.
Menurut Ramlan Surbakti
(2003), rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah
peranan dalam system politik pada umumnya dan system pemerintahan pada
khususnya.
Menurut Almond dan
Powell: “Komunikasi politik merupakan suatu fungsi sistem yang mendasar (basic
function of the system) dengan konsekuensi yang banyak untuk pemeliharaan
ataupun perubahan dalam kebudayaan politik dan struktur politik. Seseorang
tentunya dapat mengasumsikan bahwa semua perubahan penting dalam sistem politik
akan menyangkut perubahan dalam pola-pola komunikasi, dan biasanya baik sebagai
penyebab maupun akibat. Semua proses sosialisasi misalnya, merupakan proses
komunikasi, meskipun komunikasi tidak harus selalu menghasilkan perubahan sikap
(attitude change).”
Menurut
prof. Miriam Budiarjo
fungsi badan legislative pada dasarnya ada tiga yaitu
1.
Fungsi legislasi
Fungsi
legislasi adalah Fungsi yang berkaitan dengan kegiatan pembentukan
kebijakan public yang disepakati bersama oleh para wakil rakyat atas nama
seluruh rakyat yang diwakili. Hanya saja, agar kebijakan-kebijakan itu bersifat
mengikat, maka dituangkan dalam bentuk hukum tertentu sebagai ‘legislative
acts’, yaitu dalam bentuk undang-undang. Karena itu, fungsi legislasi itu
disebut sebagai fungsi pembentukan undang-undang.
2.
Fungsi
pengawasan
Badan
legislative berkewajiban untuk mengawasi aktifitas badan eksekutif agar sesuai
dengan kebijakan yang di tetapkannya. Pengawasan di lakukan melalui siding
panitia-panitia legislative dan melalui hak-hak control yang khusus, seperti
hak bertanya,interpelasi, angket dan hak sub-poena.
3.
Fungsi anggaran
Fungsi ini di maksudkan guna untuk membuat APBN.
Pelaksanaan fungsi anggaran DPR itu tidak hanya berkaitan dengan persoalan
angka-angka anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah serta bagaimana
distribusi dan alokasinya untuk pelaksanaan program-program pemerintahan dan
proyek-proyek pembangunan. Bahkan penyusunan angggaran pendapatan dan belanja
tahunan itu harus pula mengacu kepada perencanaan pembangunan jangka panjang
dan menengah yang juga dituangkan dalam bentuk undang-undang tersebut
Dalam rangka
melaksanakan fungsi pengawasan,
badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, supaya
sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan melalui
control yang khusus, dengan menggunakan hak-haknya meliputi:
a.
Hak bertanya
Anggota legislatif
berhak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai sesuatu hal. Di
Indonesia semua badan legislatif, kecuali dewan perwakilan rakyat gotong-royong
dalam masa demokrasi tepimpin, mempunyai
hak bertanya. Pertanyaan ini biasanya diajukan secara tertulis dan dijawab pula
secara tertulis oleh departemen yang bersangkutan.
b.
Hak interpelasi
Hak ini adalah hak
untuk meminta keterangan kepada pemerintah ngenai kebijksaanannya di suatu
bidang. Misalnya, bidang politik,
ekonomi, social budaya dan hankam. Badan eksekutif wajib memberi penjelasan
dalam sidang pleno, penjelasan mana
dibahas oleh anggota-anggota dan di akhiri oleh pemungutan suara, apakah
keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Jika hasil pemungutan suara
bersifat negarif, maka hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa
kebijaksaannya diragukan. Dalam suasana perselisihan antara badan legislatif
dan badan eksekutif, interpelasi dapat dijadikan batu loncatan untuk diajukanya
mosi tidak percaya. Di Indonesia badan legislatif, kecuali dewan perwakilan
rakyat gotong-royong dalam masa demokrasi terpimpin, mempunyai hak interpelasi.
c.
Hak angket
Hak angket adalah hak
anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk keperluan
ini di bentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikanya kepada
anggota badan legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya
mengenai soal ini, dengan harapan agar diperhatikan oleh pemeritah.
d.
Mosi tidak percaya
Umumnya
dianggap bahwa hak mosi merupakan control yang paling ampuh. Jika badan legislatif
menerima sesuatu mosi tidak percaya, maka dalam sisitem parlementer cabinet
harus mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis cabinet. Di Indonesia pada
sisitem parlementer, badan legislatif mempunyai hak mosi, tetapi mulai tahun
1959 hak ini ditiadakan.
Ø
POSISI
BADAN LEGISLATIF DI DALAM SISTEM POLITIK
Posisi legislatif di
dalam sistem politik Indonesia
yaitu sebagai badan pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap jalannya
suatu sistem politik. Dalam menjalankan perannya badan legislatif melakukan
rekruitmen politik dan komunikasi politik. Rekruitmen politik di jalankan badan
legislatif dengan partai politik sedangkan komunikasi politik dijalankan dengan
badan eksekutif guna membahas perumusan kebijakan. Terdapat perbedaan yang
signifikan mengenai peran badan legislatif pada masa orde baru dengan masa
reformasi di dalam sistem politik.
v
Hubungan legislatif dengan parpol dalam
rekrutmen politik pada masa orde baru
Pada Orde Baru dengan sistem pemerintahan
Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan proporsional dengan daftar
tertutup kombinasi dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur
disederhanakan. Selain sistem proporsional tertutup yang digunakan, modifikasi
sistem pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah melalui pengangkatan utusan
golongan/daerah.
Pada awalnya, penyederhanaan Sistem Multipartai
Orde Baru dilakukan dengan suatu kompromi (Konsensus nasional) antara
pemerintah dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk tetap memakai
sistem perwakilan berimbang, dengan beberapa modifikasi. Diantaranya, kabupaten
dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan 100 anggota DPR dari jumlah total 460
diangkat dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak dan sangat
dikecam parpol, dengan alasan karena tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi
kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup ide baru, seperti duduknya
wakil ABRI sebagai anggota parlemen.
Karena kegagalan usaha
penyederhanaan partai ketika pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan dengan
mengelompokkan dari 10 partai menjadi tiga partai pada tahun 1973, sehingga
sejak pemilu 1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Dengan tindakan
seperti ini, di satu sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya
pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya lagi fragmentasi partai atau
terlalu banyak partai. Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan-kelemahan,
diantaranya kekurangan akraban antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam menetapkan daftar calon dianggap
sebagai sebab utama mengapa anggota DPR kurang menyuarakan aspirasi rakyat.
v
Hubungan legislatif dengan parpol dalam
rekrutmen politik pada masa reformasi-sekarang
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan
signifikan dalam masyarakat politik. Keberadaan badan
perwakilan yang benar-benar mencerminkan representasi kedaulatan rakyat
merupakan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan pada masa reformasi. Badan
Perwakilan yang pengisian keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat adalah
bentuk rasionalisasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem
proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih
DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan
sistem distrik sistem distrik berwakil banyak. Sistem Pemilu ini digunakan
sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan
rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih
dikenal oleh pemilihnya.
Pembatasan pada masa reformasi dilakukan dengan
mekanisme kuota yaitu dengan mencantumkan prasyarat Partai Politik Peserta
Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR, atau
memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
sekurang-kurangnya (setengah) dari jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau
memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar
di kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya.
v
Hubungan
Badan Legislatif dengan Eksekutif dalam hal komunikasi pada masa Orde Baru
Hubungan
dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD
1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua badan ini (Presiden dan DPR)
adalah sama karena kedua badan ini adalah merupakan badan tinggi negara (Tap
MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya
pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan
terhadap semua aspek kehidupan berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap
kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan judikatif.
Keadaan
ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang terdapat di dalam
UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula
apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut supremasi
eksekutif. Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi
konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem
Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD
1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki
kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 5 ayat 1).
Demikian
juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar, yaitu kekuasaan
membuat berbagai macam perjanjian internasional dan mengangkat serta menerima
duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum
(kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi,
rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Dominasi kekuasaan eksekutif
semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran
terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena
menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas.
Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru.
Presiden
juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf
c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak
pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang
menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada
alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR
menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan
fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan
oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
v
Hubungan
badan Legislatif dengan Eksekutif dalam hal komunikasi pada masa Reformasi-Sekarang
Di
masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim orde baru yang dipimpin oleh
Soeharto, kedudukan badan eksekutif setara dengan badan pemerintahan yang lain,
yaitu badan legislatif dan badan yudikatif. Dalam perkembangannya, badan
eksekutif yang dipimpin oleh presiden tidak menjadi badan paling kuat dalam
pemerintahan, karena badan eksekutif diawasi oleh badan legislatif dalam
menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh badan yudikatif jika
terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Oleh karena itu pada masa
Reformasi hingga saat ini, badan eksekutif selalu bertindak hati-hati dalam
menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan melaksanakan
kebijakan, maka badan eksekutif akan mendapatkan tekanan dari segala kalangan,
baik itu dari badan pemerintahan lain maupun kelompok-kelompok kepentingan dan
terutama dari mahasiswa yang semakin menyadari perannya sebagai agent of control.
Rekruitmen anggota badan eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil pemilu,
perjanjian dengan partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden.
Ø
PERBANDINGAN
PELAKSANAAN FUNGSI BADAN LEGISLATIF DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA PADA MASA
ORDE BARU DENGAN MASA REFORMASI-SEKARANG
v
Badan Legislatif dan
Fungsinya
Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki beberapa fungsi dalam menyelenggarakan tugas dan
wewenangnya di negara Indonesia, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Adapun perbandingan pelaksanaa fungsi-fungsi DPR pada masa orde baru dan
reformasi sebagai berikut:
1.
Legislasi
a.
Pada masa orde baru
pelaksanaan fungsi legislasi DPR dijalankan tanpa visi yang jelas. Kebijakan DPR sulit
dipetakan karena lebih mengarah pada kepentingan pemerintah. Begitu halnya dengan
pola legislasi yang tidak jelas dan yang cenderung menguatkan kebijakan
pemerintah dan tidak responsive
melihat aspirasi rakyat. Hal tersebut disebabkan adanya dominasi badan
eksekutif terhadap badan legislative dalam hal pembuatan kebijakan.
b.
Pada masa reformasi
dalam
kurun waktu 2005 hingga 2010, capaian keberhasilan
penyelesaian pembahasan RUU tertinggi dilakukan pada tahun 2008 yang telah
menyelesaikan pembahasan dan menetapkan 61 RUU menjadi undang-undang. Akan
tetapi, dari 61 RUU yang disahkan tersebut, 61 % (37 RUU) adalah RUU luncuran
(27 RUU pemekaran, 3 RUU ratifikasi, 4 RUU pengesahan Perppu, dan 3 RUU APBN.
2.
Pengawasan
a.
Pada masa orde baru tingkat kehadiran anggota DPR relatif tinggi tetapi tidak melakukan pengawasan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan
anggota badan legislative ditunjuk atau dipilih langsung oleh pemerintah. sehingga
badan legislative tidak optimal dalam mengawasi aktifitas eksekutif sesuai
dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
b.
Pada masa reformasi
pelaksanaan fungsi DPR dalam hal pengawasan, telah terjadi perubahan yang
signifikan yang dilakukan oleh DPR RI melalui pelaksanaan berbagai hak DPR di
antaranya hak interpelasi, hak melakukan penyelidikan, hak menyatakan pendapat,
dan hak sub-poena (hak
menghadirkan seseorang untuk dimintai keterangan). Berbagai hak tersebut, telah
digunakan secara intensif dalam bentuk rapat kerja, rapat dengar pendapat,
rapat dengar pendapat umum dan kunjungan langsung ke lapangan.
Dalam
menangani masalah-masalah yang bersifat penting dan strategis, telah dilakukan
melalui pembentukan berbagai Panitia Khusus, antara lain : Pansus Penyelidikan
Terhadap Kasus Pertanahan secara Nasional. Pansus ini berusaha memperoleh masukan dan penjelasan
atas berbagai kasus pertanahan yang banyak ditemukan di berbagai daerah. Pansus yang
lain adalah Pansus Penyelidikan terhadap Penyimpangan Dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia. Pengawasan terhadap kinerja Pemerintah yang dilakukan oleh DPR sama
sekali bukan bermaksud untuk melampaui kewenangan yang telah digariskan oleh
konstitusi. Keseluruhan pengawasan yang dilakukan tidak lain merupakan
pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan yang dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada. Apabila terjadi perbedaan pendapat/sengketa di
antara badan-badan negara yang ada, maka hal tersebut diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan UUD 1945.
3.
Anggaran
(budget)
a.
Pada masa orde baru DPR
dalam pelaksanaan fungsi anggaran ini sebenarnya sangat kuat. Namun dalam
praktiknya kapasitas kebadanan DPR
kurang dilengkapi oleh staf pendukung yang memadai, DPR tidak memiliki
kemampuan untuk menyiapkan konsep tandingan atau setidaknya bahan-bahan
pembanding terhadap usulan yang diajukan oleh pemerintah. Kebutuhan akan kebadanan
DPR yang kuat di bidang anggaran ini juga mirip dengan kebutuhan yang sama di
bidang legislasi yang sekarang telah dilengkapi dengan Badan Legislasi yang
tersendiri.
b.
Pada masa reformasi
pelaksanaan fungsi anggaran sebagai perwujudan dari hak budget. Dewan
merupakan fungsi yang strategis di samping fungsi legislasi dan pengawasan. Hal
ini juga sesuai dengan apa
yang telah diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945 serta peraturan
perundang-undanganlain, khususnya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Dalam kurun waktu lima
tahun,
DPR telah meningkatkan peran hak budgetnya melalui pembahasan secara lebih
mendalam terhadap RUU tentang APBN, RUU tentang Perhitungan Anggaran Negara,
maupun RUU tentang Perubahan APBN. RUU tentang APBN telah dilakukan secara
cermat, rinci, dan terfokus melalui Pembicaraan Pendahuluan yang dilakukan oleh
komisi-komisi DPR dengan Pemerintah dan diakhiri dengan pembahasan secara lebih
mendalam oleh Panitia Anggaran DPR. Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003, maka
format atau struktur RAPBN untuk tahun 2005 dan tahun-tahun berikutnya akan
dilakukan perubahan. Perubahan tersebut terutama pada sisi belanja negara yang
sebelumnya didasarkan pada sektor dan sub sektor, selanjutnya diklasifikasikan
berdasarkan organisasi, fungsi, sub fungsi serta jenis belanja. DPR berharap
melalui perubahan struktur pada bagian belanja negara tersebut, akan memberikan
dampak positif terhadap efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran, serta
peningkatan kinerja organisasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar