Senin, 02 Juli 2012

Birokrasi di Indonesia

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratifmaupun militer. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat dan cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.(id.wikipedia.org)
Menurut dari para pakar birokrasi adalah sebagai berikut,
a.      Bintoro Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) “Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secarateratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”.Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapatdiselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnyaharus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
b.       Riant Nugroho Dwijowijoto
Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan bahwa “Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa “Didalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktek dijabarkansebagai pegawai negeri sipil”. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
c.       Blau dan Page
Blau dan Page (1956) mengemukakan “Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yangdimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah:
1.      Suatu prosedur yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien;
2.      Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)

KINERJA BIROKRASI YANG BAIK

Dalam sistem politik yang dipaparkan oleh Gabriel Almond terdapat peran yang harus dibebankan kepada birokrasi sebagai unit untuk melakukan kegiatan-kegiatan vital di dalam sistem ini. Dalam era modern seperti saat ini isu birokrasi menjadi hal yang paling umum dibicarakan termasuk negara Indonesia. Isu paling hangat dibicarakan adalah isu tentang transparansi dan inefiensi. Akan tetapi, masih terdapat kinerja-kinerja yang birokrasi selain transparansi dan inefisiensi. Seyogyanya kinerja yang baik dilakukan oleh birokrasi adalah melakukan transparansi, efisiensi dalam menggunakan anggaran termasuk melakukan akuntabilisasi terhadap masyarakat dan seiring dengan bergulirnya demokratisasi, birokrasi dituntut untuk bisa tampil sebagai organisasi pelayanan publik yang transparan. Good governance menjadi sebuah sebuah imperatif dalam proses menuju negara demokrasi dan peran birikrasi di sini harus transparan, akuntabel dan membuka partisipasi publik tanpa melihat status, suku, ras, agama dan jabatan sekalipun. Sisi profesionalisme menjadi titik berat dalam menjalani proses good governance disini.
Sumber Daya Manusia yang baik menjadi hal yang terpenting untuk mewujudkan good governanceyang berkualitas.Pada akhirnya, masyarakat dan pihak-pihak swasta dapat menilai kinerja birokrasi suatu negara. Implementasi dari keberhasilan dari kinerja yang baik dari birokrasi adalah keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia seperti yang tertera didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga, peran serta antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta akan terjalin dengan harmonis tanpa adanya intervensi dari pihak manapun yang ingin mempengaruhi bahkan mengkudeta rezim yang berkuasa.

POSISI BIROKRASI DI SISTEM POLITIK GABRIEL ALMOND

Di dalam sistem politik yang dibuat oleh Gabriel Almond, posisi Birokrasi terdapat diantara “Penerapan Kebijakan” dan “Recruitmen Politik”. Birokrasi berperan penting dalam percaturan perpolitikan suatu negara. Fungsi birokrasi tidak hanya sebagai memberikan input, berupa saran, informasi, visi, misi dan langkah profesionalisme untuk mempengaruhi sebuah kebijakan tetapi juga mengartikulasi sebuah aspirasi dan menjabarkan perundang-undangan.

Menurut Almond, Birokrasi akan berjalan dengan lancar apabila di dalam recruitmen politik, sosialisasi politik dan komunikasi politik berjalan dengan baik. Misalnya dalam recruitmen politik yang buruk maka sistem yang terjadi di dalam internal sebuah birokrasi akan menjadi buruk bahkan cenderung terjadi penyelewengan. Hal itu pun berlaku dengan sosialisasi politik dan komunikasi politik. Karena secara fundamental birokrasi layaknya organ vital di dalam sistem ini yang sangat berkaitan erat dengan unit-unit lain semisal eksekutif, yudikatif dan partai politik. Dari pernyataan tersebut menjadi bukti sahih bahwa birokrasi merupakan pemain utama atau pemeran utama atau inti dalam sistem politik yang dibuat oleh Gabriel Almond. Seperti halnya fungsi jantung yang memompa darah, birokrasi yang digambarkan oleh Gabriel Almond di dalam sistem politiknya, juga layaknya jantung. Akan tetapi, birokrasi adalah sebuah unit yang terdapat di dalam sebuah sistem politik yang mengatur hajat hidup orang banyak (masyarakat) di suatu wilayah atau daerah atau negara.Walaupun tanpa mengkesampingkan unit-unit lain di dalam sistem yang di buat oleh Gabrial Almond.


SISTEM POLITIK MASA ORDE BARU

Di Masa Soeharto ini, sistem politik tercipta dengan kestabilan yang tinggi, dengan bantuan dari kekuatan Golkar, TNI, lembaga pemikir, dan dukungan capital international. Kemudian dalam masa ini juga warga keturunan khususnya Tionghoa dilarang berekspresi, Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung menghapus hak – hak asasi mereka. Kemudian pengekangan pers pada masa ini juga membuktikan bahwa sistem politik yang dijalankan oleh Soeharto bersifat otoriter. Tujuan sistem politik pada masa orde baru adalah Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. (Ricklefs, 2008)
Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan, Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968, Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada masa Orde Baru, Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu dengan menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI sehingga DPR yang sebagian besar dari fraksi Golongan Karya selalu mematuhi dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto.  Hak interpelasi (yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di sesuatu bidang) tidak pernah digunakan, karena sistem pemerintahan yang otoriter dan tertutup sehingga tidak mungkin hak ini digunakan dalam sistem politik pada masa Orde Baru.

SISTEM POLITIK PADA MASA REFORMASI
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru dan kemudian memasuki orde reformasi, pada masa ini dicirikan dengan adanya liberalisasi politik. Liberalisasi politik ini merupakan fase dimana adanya sebuah proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang oleh negara. Selain itu  kebebasan pers juga telah diperbolehkan, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui fasilitas pers ini. Karena pada masa orde baru sistem politiknya otoriter dan didominasi oleh kelompok-kelompok militer dan hanya sedikit saja input sistem politik yang berasal dari luar militer.
Tentu saja input sistem politik sebagian besar dari keluarga Cendana dan kroni-kroni politik yang tidak bisa dikesampingkan pada masa Orde Baru, untuk itu pada masa reformasi ini diberlakukan liberalisasi politik dimana individu-individu dan kelompok-kelompok sosial selain kelompok militer mempunyai hak-hak untuk berpolitik. Sistem politik pada masa itu menggunakan sistem terbuka dimana setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam setiap pemilu diselenggarakan.
Ini ditandai dengan mulai adanya ledakan partisipasi politik dari berbagai kelompok masyarakat, sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu para elite politik berlomba-lomba mendirikan partai politik dan klimaksnya dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Dan pemilu dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid, dia memangku jabatan sebagai presiden selama 1 tahun 8 bulan 23 hari, lalu disusul oleh Megawati Soekarno Putri yang menggantikan posisi jabatan selama 2 tahun 20 hari. (Ricklefs, 2008)
Dari ketiga presiden ini, tak ada seorang pun yang menduduki jabatan presiden sampai penuh satu periode. Ini artinya, ketiga presiden ini turun atau diturunkan di tengah jalan. Dengan demikian, tatanan politik negeri ini masih jauh dari baik. Masa-masa yang dilalui ketiga presiden ini adalah masa-masa transisi setelah tumbangnya Orde Baru. Ketiga elemen demokrasi seperti legislatif, yudikatif, dan eksekutif masih dalam proses mencari bentuk. Artinya, dalam tempo yang demikian singkat, para presiden tersebut belum selesai menata infrastruktur birokrasinya untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dan saat ini, lembaga legislatif Partai Demokrat menjadi pemenang dalam pemilu dengan suara terbanyak, sedangkan di eksekutif Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden sejak tahun 2004 sampai sekarang. Partai Demokrat jadi pemenang pemilu dan memiliki kursi signifikan di legislatif. Pada saat yang sama, melalui pemilihan langsung, Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono mendapat dukungan penuh dari rakyat hingga menjadi pemegang tampuk kekuasaan di eksekutif. Tujuan kuat partai politik ini adalah menjadikan pemerintahan yang baik atau good governance bagi keberhasilan pembangunan di berbagai aspek negara Indonesia. Kolaborasi legislatif-eksekutif ini seharusnya menjadi mesin politik yang kuat bagi Partai Demokrat untuk menjalankan pemerintahan.
  
KINERJA BIROKRASI MASA ORDE BARU

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial,politik maupun budaya.

Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Birokrasi lebih berperan untuk mengurus kehidupan publik, dalam arti fungsi regulatif daripada fungsi pelayanan publiknya. Birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan regulasi pemerintah. Menjadikan birokrasi sangat tidak terbatas kuasanya dan sulit dikontrol masyarakat dan menyebabkan timbulnya Patologi Birokrasi. Seperti Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. 

KINERJA BIROKRASI MASA REFORMASI

Dengan berakhirnya krisis 1998 dan masa Orde Baru, pemerintahan masa reformasi dimulai dengan keinginan untuk membuat kondisi birokrasi yang baik (good govermence)seperti membuat undang-undang dan lembaga-lembaga yang mengatur para birokrat melaksanakan tugas dan fungsinya secara tepat.

 Kemudian dalam masa ini dikenal 2 macam birokrasi yaitu birokrasi patrimonial dan birokrasi kapitalisme. Birokrasi patrimonial sendiri dapat diartikan sebagai perekrutan orang ke dalam birokrasi didasarkan pada kedekatan hubungan personal yang mengabaikan kualitas individu, namun lebih memprioritaskan loyalitas kepada atasan. Untuk yang kedua untuk kapitalisme, disini para birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis yang berkaitan dengan pelayanan public

Faktor kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam mendorong terjadinya KKN di kalangan birokrasi. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi.Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi walaupun sudah dapat ditekan. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi.
Walaupun, pemerintah sedang berusaha mewujudkan good govermence dengan cara membentuk badan-badan yang dianggap perlu untuk menciptakan birokrasi yang baik, tidak terbelit-belit dan akuntabititas yang tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembuatan E-KTP, dan visi Indonesia bisa menerapkan birokrasi bersih pada 2025 sekalipun belum mampu membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik. Seakan-akan gaung yang di idamkan 14 tahun yang lalu pasca krisis 1998 tentang reformasi birokrasi hilang tak berbekas. Reformasi birokrasi yang diimpikan oleh masyarakat Indonesia seakan jalan ditempat.(Anonim, 2009)

PERBANDINGAN SISTEM POLITIK DAN KINERJA BIROKRASI PADA MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai sistem politik dan kinerja birokrasi di Indonesia di dua masa yang berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Tabel 1. Perbandingan Sistem politik dan kinerja birokrasi pada masa Orde Baru dan masa reformasi di Indonesia.

Masa Orde Baru
Masa Reformasi
Sistem Politik
Tertutup dan Otoriter, Sistem Patron-Client sangat kentara.
Terbuka dan Demokratis, banyak aspirasi yang muncul dari masyarakat.
Kinerja Birokrasi
Administrasi yang sangat terbelit-belit, proses administrasi yang lama, tunduk dari satu perintah (komando)
Administrasi masih terbelit-belit, proses administrasi sedikit cepat, terdapat pungutan liar dari aparatur, sudah adanya tata tertib yang mengatur birokrat.
Transparansi
Sangat buruk, karena badan pengawas tunduk kepada Presiden.
Lebih baik, karena dibuat lembaga yang khusus untuk mengawasi badan transparansi.
Akuntabilitas
Sangat buruk, karena tanggungjawab langsung dengan Presiden, tanpa tanggungjawab kepada masyarakat.
Lebih baik, karena tidak hanya bertanggungjawab kepada presiden saja, tetapi tanggungjawab kepada masyarakat melalui media massa.
Efisiensi Kinerja
Inefisien terlihat dengan jelas, dan belum mampu untuk ditekan, karena partisipasi publik sama sekali belum ada, atau bisa dibilang keotoriteran soeharto menutup akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi
Kinerja belum terlalu efisien namun sedikit demi sedikit mampu ditekan, karena partisipasi publik sudah mulai terlihat, tetapi kelambanan dan kebocoran dalam anggaran pemerintah masih ada
Partisipasi Publik
Tidak ada, karena keharusan seseorang untuk mengikuti partai dari presiden yang berkuasa, selain itu pemaksaan terhadap masyarakat untuk memilih partai tertentu menyebabkan kebebasan berpartisipasi menjadi pudar.
Ada, terbukti dengan mulai banyaknya parpol, serta sudah tidak ada pengekangan yang mengharuskan masyakarat untuk memilih partai tersebut.


KESIMPULAN
 Sistem politik orde baru bisa dibilang tertutup, karena sebagian besar diisi oleh fraksi ABRI, kemudian pengekangan pers menjadi bukti sahih bahwa pada masa orde baru benar-benar mengikuti satu perintah (otoriter).
Kinerja Birokrasi orde baru tidak berjalan dengan baik, dibuktikan dengan proses administrasi yang terbelit – belit dan terlampau lama, kemudian dari sisi transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik juga dapat dikatakan masih buruk, karena pada masa ini semua tertuju pada presiden tanpa ada pertanggung jawaban kepada masyarakat.
Sistem politik era reformasi seperti yang sudah dicantumkan di atas sudah mulai terbuka dan demokratis, peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menghapuskan kekuasaan keotoriteran. Aspirasi mulai bermunculan dari masyarakat, kemudian pertanggung jawaban kepada masyarakat disampaikan melalui media massa, yang memungkinkan masyarakat untuk bisa menyampaikan kritikan terhadap kinerja pemerintah.
Kinerja Birokrasi era reformasi berjalan secara lebih baik dan demokratis, meskipun proses administrasi masih terbelit – belit namun memakan waktu yang lebih cepat dari sebelumnya, selain itu dari sisi transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik sudah lebih berkembang, namun pengecualian untuk efisiensi karena masih belum dikatakan baik, terbukti masih adanya kebocoran dan kelambanan dalam anggaran pemerintah.       
Jadi dapat disimpulkan kinerja birokrasi pada masa reformasi tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan kinerja birokrasi pada masa orde baru, namun sudah lebih baik, dilihat dari perkembangan yang didapatkan perbaikan kinerja birokrasi dari masa orde baru,  namun masih adanya kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindakan KKN, serta masih kautnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik. Jika dilihat secara umum kinerja birokrasi bisa berdampak baik dan buruk, namun jika ingin memaksimalkan dampak baik, alangkah baiknya jika apa yang disebut budaya patron client itu bisa dihapuskan karena kita semua harus bermain sacara bersih, semua orang memiliki persamaan ideologi atau tujuan saja. Kita juga harus melihat apakah orang tersebut benar-benar memiliki suatu skill yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang pemerintahan. 

SARAN
Jika membahas lebih lebih jauh tentang bagaimana solusi yang mestinya benar-benar diterapakan di dalam birokrasi Indonesia, mungkin dapat dikatakan seperti demikian, namun tidak tertutup kemungkinan ada solusi lain yang lebih kompleks, selain itukan ada terus perkembngan pemikiran seperti misalnya :
1)                       Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru dikalangan PNS dan pejabat struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif lah yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2)                       Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan-kegiatanya dalam membuat ketentuan-ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil kelompok kepentingan dalam masyarakat.
3)                       Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, maupun turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
Beberapa pemikiran diatas setidaknya bisa dijadikan sebagai suatu tolok ukur bagaimana nantinya birokrasi dapat berjalan dengan lancar, tidak seperti masa-masa sebelumnya.

Badan Legislatif di Indonesia

Badan legislatif (parlemen) yaitu badan yang “legislate” atau membuat undang – undang yang anggotanya – anggotanya merupakan representasi dari rakyat Indonesia dimanapun dia berada yang dipilih melalui pemilihan umum.
Rousseau, tentang Volonte Generale atau General Will yang menyatakan bahwa “rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan”
Menurut Miriam Budiarjo, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan mengikat seluruh masyarakat. Undang – undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan – kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Susuanan keanggotakan badan legislatif  pada dasarnya menurut Miriam Budiarjo, adalah beraneka ragam yaitu ada yang jumlahnya mencapai 1300 anggota seperti DPR Unisoviet (kini : Rusia), DPR Indonesia berjumlah 560 orang dan ada yang kecil seperti DPR Pakistan, yaitu sebanyak 150 anggota :
   System penentuan anggota DPR beraneka ragam sifatnya, yaitu :
1.                       Turun temurun ( sebagian majelis tinggi Inggris )
2.                       Ditunjuk ( senat Kanada )
3.                       Dipilih, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
System penentuan atau pemilihan diatas, berlaku pada pemerintahan sosialis atau kerajaan, sedangkan dalam Negara modern pada umumnya anggota badan legislatif dipilih dalam pemilihan umum dan berdasarkan system kepartaian. Perwakilan semacam ini bersifat politik. Akan tetapi system ini tidak menutup kemungkinan beberapa orang anggota dipilih tanpa ikatan pada sesuatu partai, tetapi sebagai orang “independent”. Contoh, pada pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955.
Menurut Ramlan Surbakti (2003), rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam system politik pada umumnya dan system pemerintahan pada khususnya.
Menurut Almond dan Powell: “Komunikasi politik merupakan suatu fungsi sistem yang mendasar (basic function of the system) dengan konsekuensi yang banyak untuk pemeliharaan ataupun perubahan dalam kebudayaan politik dan struktur politik. Seseorang tentunya dapat mengasumsikan bahwa semua perubahan penting dalam sistem politik akan menyangkut perubahan dalam pola-pola komunikasi, dan biasanya baik sebagai penyebab maupun akibat. Semua proses sosialisasi misalnya, merupakan proses komunikasi, meskipun komunikasi tidak harus selalu menghasilkan perubahan sikap (attitude change).”
 Menurut prof. Miriam Budiarjo fungsi badan legislative pada dasarnya ada tiga yaitu
1.             Fungsi legislasi
Fungsi legislasi adalah Fungsi yang berkaitan dengan kegiatan pembentukan kebijakan public yang disepakati bersama oleh para wakil rakyat atas nama seluruh rakyat yang diwakili. Hanya saja, agar kebijakan-kebijakan itu bersifat mengikat, maka dituangkan dalam bentuk hukum tertentu sebagai ‘legislative acts’, yaitu dalam bentuk undang-undang. Karena itu, fungsi legislasi itu disebut sebagai fungsi pembentukan undang-undang.
2.             Fungsi pengawasan
Badan legislative berkewajiban untuk mengawasi aktifitas badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang di tetapkannya. Pengawasan di lakukan melalui siding panitia-panitia legislative dan melalui hak-hak control yang khusus, seperti hak bertanya,interpelasi, angket dan hak sub-poena.
3.             Fungsi anggaran
Fungsi ini di maksudkan guna untuk membuat APBN. Pelaksanaan fungsi anggaran DPR itu tidak hanya berkaitan dengan persoalan angka-angka anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah serta bagaimana distribusi dan alokasinya untuk pelaksanaan program-program pemerintahan dan proyek-proyek pembangunan. Bahkan penyusunan angggaran pendapatan dan belanja tahunan itu harus pula mengacu kepada perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah yang juga dituangkan dalam bentuk undang-undang tersebut

Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, supaya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan melalui control yang khusus, dengan menggunakan hak-haknya meliputi:
a.                  Hak bertanya
Anggota legislatif berhak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai sesuatu hal. Di Indonesia semua badan legislatif, kecuali dewan perwakilan rakyat gotong-royong dalam masa demokrasi  tepimpin, mempunyai hak bertanya. Pertanyaan ini biasanya diajukan secara tertulis dan dijawab pula secara tertulis oleh departemen yang bersangkutan.
b.                  Hak interpelasi
Hak ini adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah ngenai kebijksaanannya di suatu bidang. Misalnya,  bidang politik, ekonomi, social budaya dan hankam. Badan eksekutif wajib memberi penjelasan dalam sidang pleno,  penjelasan mana dibahas oleh anggota-anggota dan di akhiri oleh pemungutan suara, apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Jika hasil pemungutan suara bersifat negarif, maka hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijaksaannya diragukan. Dalam suasana perselisihan antara badan legislatif dan badan eksekutif, interpelasi dapat dijadikan batu loncatan untuk diajukanya mosi tidak percaya. Di Indonesia badan legislatif, kecuali dewan perwakilan rakyat gotong-royong dalam masa demokrasi terpimpin, mempunyai hak interpelasi.
c.                  Hak angket
Hak angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk keperluan ini di bentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikanya kepada anggota badan legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal ini, dengan harapan agar diperhatikan oleh pemeritah.
d.                 Mosi tidak percaya
Umumnya dianggap bahwa hak mosi merupakan control yang paling ampuh. Jika badan legislatif menerima sesuatu mosi tidak percaya, maka dalam sisitem parlementer cabinet harus mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis cabinet. Di Indonesia pada sisitem parlementer, badan legislatif mempunyai hak mosi, tetapi mulai tahun 1959 hak ini ditiadakan.


Ø   POSISI BADAN LEGISLATIF DI DALAM SISTEM POLITIK
Posisi legislatif di dalam sistem politik Indonesia yaitu sebagai badan pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap jalannya suatu sistem politik. Dalam menjalankan perannya badan legislatif melakukan rekruitmen politik dan komunikasi politik. Rekruitmen politik di jalankan badan legislatif dengan partai politik sedangkan komunikasi politik dijalankan dengan badan eksekutif guna membahas perumusan kebijakan. Terdapat perbedaan yang signifikan mengenai peran badan legislatif pada masa orde baru dengan masa reformasi di dalam sistem politik.

v   Hubungan legislatif dengan parpol dalam rekrutmen politik pada masa orde baru
Pada Orde Baru dengan sistem pemerintahan Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan proporsional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur disederhanakan. Selain sistem proporsional tertutup yang digunakan, modifikasi sistem pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah melalui pengangkatan utusan golongan/daerah.
Pada awalnya, penyederhanaan Sistem Multipartai Orde Baru dilakukan dengan suatu kompromi (Konsensus nasional) antara pemerintah dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk tetap memakai sistem perwakilan berimbang, dengan beberapa modifikasi. Diantaranya, kabupaten dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan 100 anggota DPR dari jumlah total 460 diangkat dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak dan sangat dikecam parpol, dengan alasan karena tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.
Karena kegagalan usaha penyederhanaan partai ketika pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan dengan mengelompokkan dari 10 partai menjadi tiga partai pada tahun 1973, sehingga sejak pemilu 1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Dengan tindakan seperti ini, di satu sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya lagi fragmentasi partai atau terlalu banyak partai. Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan-kelemahan, diantaranya kekurangan akraban antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam menetapkan daftar calon dianggap sebagai sebab utama mengapa anggota DPR kurang menyuarakan aspirasi rakyat.

v   Hubungan legislatif dengan parpol dalam rekrutmen politik pada masa reformasi-sekarang
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Keberadaan badan perwakilan yang benar-benar mencerminkan representasi kedaulatan rakyat merupakan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan pada masa reformasi. Badan Perwakilan yang pengisian keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat adalah bentuk rasionalisasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan sistem distrik sistem distrik berwakil banyak. Sistem Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya.
Pembatasan pada masa reformasi dilakukan dengan mekanisme kuota yaitu dengan mencantumkan prasyarat Partai Politik Peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya (setengah) dari jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya.
v   Hubungan Badan Legislatif dengan Eksekutif dalam hal komunikasi pada masa Orde Baru
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua badan ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua badan ini adalah merupakan badan tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan judikatif.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut supremasi eksekutif. Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 5 ayat 1).
Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru.
Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
v   Hubungan badan Legislatif dengan Eksekutif dalam hal komunikasi pada masa Reformasi-Sekarang
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, kedudukan badan eksekutif setara dengan badan pemerintahan yang lain, yaitu badan legislatif dan badan yudikatif. Dalam perkembangannya, badan eksekutif yang dipimpin oleh presiden tidak menjadi badan paling kuat dalam pemerintahan, karena badan eksekutif diawasi oleh badan legislatif dalam menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh badan yudikatif jika terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Oleh karena itu pada masa Reformasi hingga saat ini, badan eksekutif selalu bertindak hati-hati dalam menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan, maka badan eksekutif akan mendapatkan tekanan dari segala kalangan, baik itu dari badan pemerintahan lain maupun kelompok-kelompok kepentingan dan terutama dari mahasiswa yang semakin menyadari perannya sebagai agent of control. Rekruitmen anggota badan eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil pemilu, perjanjian dengan partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden.
Ø   PERBANDINGAN PELAKSANAAN FUNGSI BADAN LEGISLATIF DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DENGAN MASA REFORMASI-SEKARANG
v   Badan Legislatif dan Fungsinya
          Dewan Perwakilan Rakyat memiliki beberapa fungsi dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya di negara Indonesia, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Adapun perbandingan pelaksanaa fungsi-fungsi DPR pada masa orde baru dan reformasi sebagai berikut:
1.             Legislasi
a.         Pada masa orde baru pelaksanaan fungsi legislasi DPR dijalankan tanpa visi yang jelas. Kebijakan DPR sulit dipetakan karena lebih mengarah pada kepentingan pemerintah. Begitu halnya dengan pola legislasi yang tidak jelas dan yang cenderung menguatkan kebijakan pemerintah dan tidak responsive melihat aspirasi rakyat. Hal tersebut disebabkan adanya dominasi badan eksekutif terhadap badan legislative dalam hal pembuatan kebijakan.
b.        Pada masa reformasi dalam kurun waktu 2005 hingga 2010, capaian keberhasilan penyelesaian pembahasan RUU tertinggi dilakukan pada tahun 2008 yang telah menyelesaikan pembahasan dan menetapkan 61 RUU menjadi undang-undang. Akan tetapi, dari 61 RUU yang disahkan tersebut, 61 % (37 RUU) adalah RUU luncuran (27 RUU pemekaran, 3 RUU ratifikasi, 4 RUU pengesahan Perppu, dan 3 RUU APBN.

2.             Pengawasan
a.         Pada masa orde baru tingkat kehadiran anggota DPR  relatif tinggi tetapi tidak melakukan pengawasan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan anggota badan legislative ditunjuk atau dipilih langsung oleh pemerintah. sehingga badan legislative tidak optimal dalam mengawasi aktifitas eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
b.        Pada masa reformasi pelaksanaan fungsi DPR dalam hal pengawasan, telah terjadi perubahan yang signifikan yang dilakukan oleh DPR RI melalui pelaksanaan berbagai hak DPR di antaranya hak interpelasi, hak melakukan penyelidikan, hak menyatakan pendapat, dan hak sub-poena (hak menghadirkan seseorang untuk dimintai keterangan). Berbagai hak tersebut, telah digunakan secara intensif dalam bentuk rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum dan kunjungan langsung ke lapangan. Dalam menangani masalah-masalah yang bersifat penting dan strategis, telah dilakukan melalui pembentukan berbagai Panitia Khusus, antara lain : Pansus Penyelidikan Terhadap Kasus Pertanahan secara Nasional. Pansus ini berusaha memperoleh masukan dan penjelasan atas berbagai kasus pertanahan yang banyak ditemukan di berbagai daerah. Pansus yang lain adalah Pansus Penyelidikan terhadap Penyimpangan Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Pengawasan terhadap kinerja Pemerintah yang dilakukan oleh DPR sama sekali bukan bermaksud untuk melampaui kewenangan yang telah digariskan oleh konstitusi. Keseluruhan pengawasan yang dilakukan tidak lain merupakan pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Apabila terjadi perbedaan pendapat/sengketa di antara badan-badan negara yang ada, maka hal tersebut diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan UUD 1945.

3.             Anggaran (budget)
a.              Pada masa orde baru DPR dalam pelaksanaan fungsi anggaran ini sebenarnya sangat kuat. Namun dalam praktiknya kapasitas kebadanan DPR kurang dilengkapi oleh staf pendukung yang memadai, DPR tidak memiliki kemampuan untuk menyiapkan konsep tandingan atau setidaknya bahan-bahan pembanding terhadap usulan yang diajukan oleh pemerintah. Kebutuhan akan kebadanan DPR yang kuat di bidang anggaran ini juga mirip dengan kebutuhan yang sama di bidang legislasi yang sekarang telah dilengkapi dengan Badan Legislasi yang tersendiri.
b.             Pada masa reformasi pelaksanaan fungsi anggaran sebagai perwujudan dari hak budget. Dewan merupakan fungsi yang strategis di samping fungsi legislasi dan pengawasan. Hal ini juga sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945 serta peraturan perundang-undanganlain, khususnya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam kurun waktu lima tahun, DPR telah meningkatkan peran hak budgetnya melalui pembahasan secara lebih mendalam terhadap RUU tentang APBN, RUU tentang Perhitungan Anggaran Negara, maupun RUU tentang Perubahan APBN. RUU tentang APBN telah dilakukan secara cermat, rinci, dan terfokus melalui Pembicaraan Pendahuluan yang dilakukan oleh komisi-komisi DPR dengan Pemerintah dan diakhiri dengan pembahasan secara lebih mendalam oleh Panitia Anggaran DPR. Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003, maka format atau struktur RAPBN untuk tahun 2005 dan tahun-tahun berikutnya akan dilakukan perubahan. Perubahan tersebut terutama pada sisi belanja negara yang sebelumnya didasarkan pada sektor dan sub sektor, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan organisasi, fungsi, sub fungsi serta jenis belanja. DPR berharap melalui perubahan struktur pada bagian belanja negara tersebut, akan memberikan dampak positif terhadap efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran, serta peningkatan kinerja organisasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.