Birokrasi berasal dari
kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan
sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai
komando dengan
bentuk piramida, dimana
lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya
ditemui pada instansi yang sifatnya administratifmaupun militer. Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari Birokrasi adalah sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran
yang tidak dipilih oleh rakyat
dan cara pemerintahan yang
sangat dikuasai oleh pegawai.(id.wikipedia.org)
Menurut dari para pakar
birokrasi adalah sebagai berikut,
a. Bintoro
Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) “Birokrasi dimaksudkan
untuk mengorganisir secarateratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan
oleh banyak orang”.Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi
adalah agar pekerjaan dapatdiselesaikan dengan cepat dan terorganisir.
Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnyaharus diselesaikan oleh banyak
orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya,
itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
b. Riant
Nugroho Dwijowijoto
Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan
bahwa “Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk
meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik
maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang
netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa “Didalam
masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus-menerus dan
ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktek
dijabarkansebagai pegawai negeri sipil”. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
c.
Blau dan Page
Blau dan Page
(1956) mengemukakan “Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi
yangdimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan
cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak
orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk
melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi
seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
Berdasarkan uraian-uraian
tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah:
1. Suatu prosedur yang harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tujuan organisasi
dapat tercapai secara efektif dan efisien;
2.
Keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang
bertugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah
karena statusnya itu. (www.scribd.com/Definisi-Birokrasi)
KINERJA BIROKRASI YANG BAIK
Dalam sistem politik yang dipaparkan oleh Gabriel Almond terdapat
peran yang harus dibebankan kepada birokrasi sebagai unit untuk melakukan
kegiatan-kegiatan vital di dalam sistem ini. Dalam era modern seperti saat ini
isu birokrasi menjadi hal yang paling umum dibicarakan termasuk negara
Indonesia. Isu paling hangat dibicarakan adalah isu tentang transparansi dan
inefiensi. Akan tetapi, masih terdapat kinerja-kinerja yang birokrasi selain
transparansi dan inefisiensi. Seyogyanya kinerja yang baik dilakukan oleh
birokrasi adalah melakukan transparansi, efisiensi dalam menggunakan anggaran
termasuk melakukan akuntabilisasi terhadap masyarakat dan seiring dengan
bergulirnya demokratisasi, birokrasi dituntut untuk bisa tampil sebagai organisasi
pelayanan publik yang transparan. Good
governance menjadi sebuah sebuah imperatif dalam proses menuju negara
demokrasi dan peran birikrasi di sini harus transparan, akuntabel dan membuka
partisipasi publik tanpa melihat status, suku, ras, agama dan jabatan
sekalipun. Sisi profesionalisme menjadi titik berat dalam menjalani proses good governance disini.
Sumber Daya Manusia yang baik menjadi hal yang terpenting untuk
mewujudkan good governanceyang
berkualitas.Pada akhirnya, masyarakat dan pihak-pihak swasta dapat menilai
kinerja birokrasi suatu negara. Implementasi dari keberhasilan dari kinerja
yang baik dari birokrasi adalah keadilan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia seperti yang tertera didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga, peran serta antara pemerintah, masyarakat dan pihak
swasta akan terjalin dengan harmonis tanpa adanya intervensi dari pihak manapun
yang ingin mempengaruhi bahkan mengkudeta rezim yang berkuasa.
POSISI BIROKRASI DI SISTEM POLITIK
GABRIEL ALMOND
Di dalam sistem politik yang dibuat oleh Gabriel Almond, posisi
Birokrasi terdapat diantara “Penerapan Kebijakan” dan “Recruitmen Politik”.
Birokrasi berperan penting dalam percaturan perpolitikan suatu negara. Fungsi
birokrasi tidak hanya sebagai memberikan input, berupa saran, informasi, visi,
misi dan langkah profesionalisme untuk mempengaruhi sebuah kebijakan tetapi
juga mengartikulasi sebuah aspirasi dan menjabarkan perundang-undangan.
Menurut Almond, Birokrasi akan berjalan dengan lancar apabila di dalam
recruitmen politik, sosialisasi politik dan komunikasi politik berjalan dengan
baik. Misalnya dalam recruitmen politik yang buruk maka sistem yang terjadi di
dalam internal sebuah birokrasi akan menjadi buruk bahkan cenderung terjadi
penyelewengan. Hal itu pun berlaku dengan sosialisasi politik dan komunikasi
politik. Karena secara fundamental birokrasi layaknya organ vital di dalam
sistem ini yang sangat berkaitan erat dengan unit-unit lain semisal eksekutif,
yudikatif dan partai politik. Dari pernyataan tersebut menjadi bukti sahih
bahwa birokrasi merupakan pemain utama atau pemeran utama atau inti dalam
sistem politik yang dibuat oleh Gabriel Almond. Seperti halnya fungsi jantung
yang memompa darah, birokrasi yang digambarkan oleh Gabriel Almond di dalam
sistem politiknya, juga layaknya jantung. Akan tetapi, birokrasi adalah sebuah
unit yang terdapat di dalam sebuah sistem politik yang mengatur hajat hidup
orang banyak (masyarakat) di suatu wilayah atau daerah atau negara.Walaupun
tanpa mengkesampingkan unit-unit lain di dalam sistem yang di buat oleh Gabrial
Almond.
SISTEM POLITIK MASA ORDE BARU
Di Masa
Soeharto ini, sistem politik tercipta dengan kestabilan yang tinggi, dengan
bantuan dari kekuatan Golkar, TNI, lembaga pemikir, dan dukungan capital
international. Kemudian dalam masa ini juga warga keturunan khususnya Tionghoa
dilarang berekspresi, Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung menghapus hak – hak asasi mereka. Kemudian pengekangan
pers pada masa ini juga membuktikan bahwa sistem politik yang dijalankan oleh
Soeharto bersifat otoriter. Tujuan sistem politik pada masa orde baru adalah Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu
menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi sebagai persyaratan untuk
melaksanakan pembangunan nasional. (Ricklefs, 2008)
Program
Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur
Karya Kabinet Ampera yakni Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di
bidang sandang dan pangan, Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang
ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968, Melaksanakan politik luar negeri yang
bebas aktif untuk kepentingan nasional, Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.
Pada masa
Orde Baru, Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu dengan
menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran
dwifungsi ABRI sehingga DPR yang sebagian besar dari fraksi Golongan Karya
selalu mematuhi dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hak interpelasi (yaitu hak untuk meminta
keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di sesuatu bidang) tidak pernah
digunakan, karena sistem pemerintahan yang otoriter dan tertutup sehingga tidak
mungkin hak ini digunakan dalam sistem politik pada masa Orde Baru.
SISTEM POLITIK PADA MASA
REFORMASI
Setelah
runtuhnya rezim Orde Baru dan kemudian memasuki orde reformasi, pada masa ini
dicirikan dengan adanya liberalisasi politik. Liberalisasi politik ini
merupakan fase dimana adanya sebuah proses mengefektifkan hak-hak yang
melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang
oleh negara. Selain itu kebebasan pers
juga telah diperbolehkan, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui
fasilitas pers ini. Karena pada masa orde baru sistem politiknya otoriter dan
didominasi oleh kelompok-kelompok militer dan hanya sedikit saja input sistem
politik yang berasal dari luar militer.
Tentu
saja input sistem politik sebagian besar dari keluarga Cendana dan kroni-kroni
politik yang tidak bisa dikesampingkan pada masa Orde Baru, untuk itu pada masa
reformasi ini diberlakukan liberalisasi politik dimana individu-individu dan
kelompok-kelompok sosial selain kelompok militer mempunyai hak-hak untuk
berpolitik. Sistem politik pada masa itu menggunakan sistem terbuka dimana
setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam setiap pemilu
diselenggarakan.
Ini
ditandai dengan mulai adanya ledakan partisipasi politik dari berbagai kelompok
masyarakat, sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu para elite
politik berlomba-lomba mendirikan partai politik dan klimaksnya dari pendirian
partai politik adalah diselenggarakannya pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999
dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima
besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan
Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai
Amanat Nasional. Dan pemilu dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid, dia memangku
jabatan sebagai presiden selama 1 tahun 8 bulan 23 hari, lalu disusul oleh
Megawati Soekarno Putri yang menggantikan posisi jabatan selama 2 tahun 20
hari. (Ricklefs, 2008)
Dari
ketiga presiden ini, tak ada seorang pun yang menduduki jabatan presiden sampai
penuh satu periode. Ini artinya, ketiga presiden ini turun atau diturunkan di
tengah jalan. Dengan demikian, tatanan politik negeri ini masih jauh dari baik.
Masa-masa yang dilalui ketiga presiden ini adalah masa-masa transisi setelah
tumbangnya Orde Baru. Ketiga elemen demokrasi seperti legislatif, yudikatif,
dan eksekutif masih dalam proses mencari bentuk. Artinya, dalam tempo yang
demikian singkat, para presiden tersebut belum selesai menata infrastruktur
birokrasinya untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dan saat
ini, lembaga legislatif Partai Demokrat menjadi pemenang dalam pemilu dengan
suara terbanyak, sedangkan di eksekutif Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
presiden sejak tahun 2004 sampai sekarang. Partai Demokrat jadi pemenang pemilu
dan memiliki kursi signifikan di legislatif. Pada saat yang sama, melalui
pemilihan langsung, Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono
mendapat dukungan penuh dari rakyat hingga menjadi pemegang tampuk kekuasaan di
eksekutif. Tujuan kuat partai politik ini adalah menjadikan pemerintahan yang
baik atau good governance bagi
keberhasilan pembangunan di berbagai aspek negara Indonesia. Kolaborasi
legislatif-eksekutif ini seharusnya menjadi mesin politik yang kuat bagi Partai
Demokrat untuk menjalankan pemerintahan.
KINERJA BIROKRASI MASA ORDE BARU
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan
strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya
ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh.
Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem
perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem
tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat,
seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar
kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki
konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial,politik maupun budaya.
Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan
birokrasi sebagai premium mobile bagi
program pembangunan nasional. Birokrasi lebih berperan untuk mengurus kehidupan
publik, dalam arti fungsi regulatif daripada fungsi pelayanan publiknya.
Birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan regulasi pemerintah.
Menjadikan birokrasi sangat tidak terbatas kuasanya dan sulit dikontrol
masyarakat dan menyebabkan timbulnya Patologi Birokrasi. Seperti Korupsi Kolusi
dan Nepotisme. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi
kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku
aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan
pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai
pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani
dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh
dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan
nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur
kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi
dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut
sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi
tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi
terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan
yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat
birokrasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi
kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku
aparat atau pejabat birokrasi.
KINERJA BIROKRASI MASA REFORMASI
Dengan
berakhirnya krisis 1998 dan masa Orde Baru, pemerintahan masa reformasi dimulai
dengan keinginan untuk membuat kondisi birokrasi yang baik (good
govermence)seperti membuat undang-undang dan
lembaga-lembaga yang mengatur para birokrat melaksanakan tugas dan fungsinya
secara tepat.
Kemudian dalam masa ini dikenal 2 macam
birokrasi yaitu birokrasi patrimonial dan birokrasi kapitalisme. Birokrasi
patrimonial sendiri dapat diartikan sebagai perekrutan orang ke dalam birokrasi
didasarkan pada kedekatan hubungan personal yang mengabaikan kualitas individu,
namun lebih memprioritaskan loyalitas kepada atasan. Untuk yang kedua untuk
kapitalisme, disini para birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis
yang berkaitan dengan pelayanan public
Faktor
kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam mendorong
terjadinya KKN di kalangan birokrasi. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa
reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi
di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi
birokrasi sering kali masih terjadi.Masih kuatnya kultur birokrasi yang
menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna
jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya
dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi
bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan
nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur
kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi
dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut
sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi
tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi
terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan
yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat
birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam
penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi
pada masa reformasi walaupun sudah dapat ditekan. Birokrasi sipil termasuk
salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil
yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi.
Walaupun, pemerintah sedang berusaha mewujudkan
good govermence dengan cara membentuk
badan-badan yang dianggap perlu untuk menciptakan birokrasi yang baik, tidak
terbelit-belit dan akuntabititas yang tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), pembuatan E-KTP, dan visi Indonesia bisa menerapkan birokrasi bersih
pada 2025 sekalipun belum mampu membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik.
Seakan-akan gaung yang di idamkan 14 tahun yang lalu pasca krisis 1998 tentang
reformasi birokrasi hilang tak berbekas. Reformasi birokrasi yang diimpikan
oleh masyarakat Indonesia seakan jalan ditempat.(Anonim, 2009)
PERBANDINGAN SISTEM POLITIK DAN KINERJA BIROKRASI PADA MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI
Dari
beberapa penjelasan diatas mengenai sistem politik dan kinerja birokrasi di
Indonesia di dua masa yang berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Tabel 1. Perbandingan Sistem politik dan
kinerja birokrasi pada masa Orde Baru dan masa reformasi di Indonesia.
Masa Orde Baru
|
Masa Reformasi
|
|
Sistem Politik
|
Tertutup dan Otoriter, Sistem
Patron-Client sangat kentara.
|
Terbuka dan Demokratis, banyak aspirasi
yang muncul dari masyarakat.
|
Kinerja Birokrasi
|
Administrasi yang sangat terbelit-belit, proses
administrasi yang lama, tunduk dari satu perintah (komando)
|
Administrasi masih terbelit-belit, proses
administrasi sedikit cepat, terdapat pungutan liar dari aparatur, sudah
adanya tata tertib yang mengatur birokrat.
|
Transparansi
|
Sangat buruk, karena badan pengawas
tunduk kepada Presiden.
|
Lebih baik, karena dibuat lembaga yang
khusus untuk mengawasi badan transparansi.
|
Akuntabilitas
|
Sangat buruk, karena tanggungjawab
langsung dengan Presiden, tanpa tanggungjawab kepada masyarakat.
|
Lebih baik, karena tidak hanya
bertanggungjawab kepada presiden saja, tetapi tanggungjawab kepada masyarakat
melalui media massa.
|
Efisiensi Kinerja
|
Inefisien terlihat dengan jelas, dan
belum mampu untuk ditekan, karena partisipasi publik sama sekali belum ada,
atau bisa dibilang keotoriteran soeharto menutup akses bagi masyarakat untuk
berpartisipasi
|
Kinerja belum terlalu efisien namun
sedikit demi sedikit mampu ditekan, karena partisipasi publik sudah mulai
terlihat, tetapi kelambanan dan kebocoran dalam anggaran pemerintah masih ada
|
Partisipasi Publik
|
Tidak ada, karena keharusan seseorang
untuk mengikuti partai dari presiden yang berkuasa, selain itu pemaksaan
terhadap masyarakat untuk memilih partai tertentu menyebabkan kebebasan
berpartisipasi menjadi pudar.
|
Ada, terbukti dengan mulai banyaknya
parpol, serta sudah tidak ada pengekangan yang mengharuskan masyakarat untuk
memilih partai tersebut.
|
KESIMPULAN
Sistem politik orde baru bisa dibilang
tertutup, karena sebagian besar diisi oleh fraksi ABRI, kemudian pengekangan
pers menjadi bukti sahih bahwa pada masa orde baru benar-benar mengikuti satu
perintah (otoriter).
Kinerja Birokrasi orde
baru tidak berjalan dengan baik, dibuktikan dengan proses administrasi yang
terbelit – belit dan terlampau lama, kemudian dari sisi transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi publik juga dapat dikatakan masih
buruk, karena pada masa ini semua tertuju pada presiden tanpa ada pertanggung
jawaban kepada masyarakat.
Sistem politik era
reformasi seperti yang sudah dicantumkan di atas sudah mulai terbuka dan
demokratis, peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menghapuskan kekuasaan
keotoriteran. Aspirasi mulai bermunculan dari masyarakat, kemudian pertanggung
jawaban kepada masyarakat disampaikan melalui media massa, yang memungkinkan
masyarakat untuk bisa menyampaikan kritikan terhadap kinerja pemerintah.
Kinerja Birokrasi era
reformasi berjalan secara lebih baik dan demokratis, meskipun proses
administrasi masih terbelit – belit namun memakan waktu yang lebih cepat dari sebelumnya,
selain itu dari sisi transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan partisipasi
publik sudah lebih berkembang, namun pengecualian untuk efisiensi karena masih
belum dikatakan baik, terbukti masih adanya kebocoran dan kelambanan dalam
anggaran pemerintah.
Jadi dapat disimpulkan
kinerja birokrasi pada masa reformasi tidak jauh berbeda jika dibandingkan
dengan kinerja birokrasi pada masa orde baru, namun sudah lebih baik, dilihat
dari perkembangan yang didapatkan perbaikan kinerja birokrasi dari masa orde
baru, namun masih adanya kecenderungan
dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam
birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindakan
KKN, serta masih kautnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi
sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang
dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik.
Jika dilihat secara umum kinerja birokrasi bisa berdampak baik dan buruk, namun
jika ingin memaksimalkan dampak baik, alangkah baiknya jika apa yang disebut
budaya patron client itu bisa dihapuskan karena kita semua harus bermain sacara
bersih, semua orang memiliki persamaan ideologi atau tujuan saja. Kita juga
harus melihat apakah orang tersebut benar-benar memiliki suatu skill yang
dibutuhkan untuk bekerja dibidang pemerintahan.
SARAN
Jika membahas lebih
lebih jauh tentang bagaimana solusi yang mestinya benar-benar diterapakan di
dalam birokrasi Indonesia, mungkin dapat dikatakan seperti demikian, namun
tidak tertutup kemungkinan ada solusi lain yang lebih kompleks, selain itukan
ada terus perkembngan pemikiran seperti misalnya :
1)
Adanya keinginan perlu
tumbuhnya kesadaran baru dikalangan PNS dan pejabat struktural maupun
fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif lah yang berkuasa,
sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2)
Birokrasi perlu
transparan dalam kegiatan-kegiatanya dalam membuat ketentuan-ketentuan teknis
harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil kelompok kepentingan dalam
masyarakat.
3)
Pejabat birokrasi perlu
“merakyat”, maupun turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
Beberapa pemikiran
diatas setidaknya bisa dijadikan sebagai suatu tolok ukur bagaimana nantinya
birokrasi dapat berjalan dengan lancar, tidak seperti masa-masa sebelumnya.