BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Dalam periode mendatang,
Indonesia diprediksi akan menghadapi persaingan dan
ketidakpastian global yang makin meningkat, pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat, dan dinamika masyarakat yang semakin
beraneka ragam. Budaya konsumtif di dalam kehidupan masyarakat pelan-pelan
mulai terbentuk. Tak jarang kini banyak kalangan masyarakat yang lebih
mementingkan keinginan daripada kebutuhan. Ditambah lagi dengan masih banyaknya
manusia miskin dan pengangguran di negeri ini. Tingginya permintaan
barang dan jasa oleh masyarakat yang relatif lebih tinggi dari ketersediaannya
tentu saja dapat menimbulkan inflasi.
Inflasi ini disebut juga dengan inflasi permintaan (demand pull inflation). Dalam konteks makroekonomi,
kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output
potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari
pada kapasitas perekonomian.
Untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan, maka pemerintah wajib melakukan salah satu syaratnya
yaitu kestabilan inflasi. Kestabilan ini diharapkan
nantnya dapat memberikan manfaat
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi
didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil
memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan
pendapatan masyarakat akan terus menurun, sehingga standar
hidup dari masyarakat pun
turun dan akhirnya akan menjadikan
semua orang, terutama orang-orang miskin, bertambah miskin. Selain hal tersebut, keadaan inflasi yang tidak stabil akan
menciptakan ketidakpastian
bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Dari pengalaman yang
sudah-sudah menunjukkan bahwa
inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan
konsumsi, investasi, maupun
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi
nasional.
Tulisan ini
akan menjelaskan tentang bagaimana peranan Bank Indonesia selaku lembaga negara
dan bank sentral di Indonesia pengendalian inflasi. Bank Indonesia fokus pada pencapaian sasaran
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan
nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang
terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua
tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Dalam kesempatan ini
akan dibahas mengenai aspek perkembangan laju inflasi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Landasan Teori
Dalam ilmu ekonomi, inflasi merupakan proses meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Konsumsi masyarakat yang meningkat,
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi,
sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang adalah
beberapa faktor yang dapat menyebabkan inflasi. Inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara bertahap.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tentang tinggi-rendahnya
tingkat harga. Artinya, ketika keadaan tingkat harga dianggap tinggi belum
tentu hal tersebut menunjukan inflasi. Inflasi juga merupakan suatu indikator
untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan
harga berlangsung secara terus-menerus dan saling mempengaruhi. Istilah inflasi
juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai
penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi,
dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator. CPI (consumer price index) atau indeks harga
konsumen adalah nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga. IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara dan juga sebagai
pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan kontrak lainnya. Untuk memperkirakan
nilai IHK pada masa depan, ekonom menggunakan indeks harga produsen, yaitu harga rata-rata bahan mentah yang dibutuhkan
produsen untuk membuat produknya. Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah
dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga
dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar
tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota. Inflasi
yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok
pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by
purpose - COICOP), yaitu :
- Kelompok Bahan Makanan
- Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
- Kelompok Perumahan
- Kelompok Sandang
- Kelompok Kesehatan
- Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
- Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Sedangkan GDP Deflator atau deflator PDB
adalah rasio antara PDB riil
dengan PDB nominal, dikalikan 100. Deflator PDB menunjukkan besarnya
perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan
jasa. PDB merupakan singkatan dari produk domestik bruto (PDB)—jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh
unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu
tahun. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan,
yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi
apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara
10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi
tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Inflasi
ditimbulkan
karena adanya tekanan dari sisi cost
push inflation, dari sisi permintaan, dan dari ekspektasi inflasi.
Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi
nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang,
peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah, dan terjadinya bencana alam yang berakibat terganggunya
distribusi. Faktor penyebab terjadi inflasi permintaan
adalah tingginya permintaan barang dan
jasa relatif terhadap ketersediaannya. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi
dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan
ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Hal ini tercermin
dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang. Contohnya saja pada saat menjelang
hari-hari besar seperti lebaran, natal, dan tahun baru. Meskipun ketersediaan
barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan,
namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari tersebut cenderung meningkat. Demikian
halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang
meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong
peningkatan permintaan.
2. Ulasan
Tujuan Bank Indonesia adalah fokus pada pencapaian sasaran tunggal yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diantara lain pada
perkembangan laju inflasi. Perumusan
tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai
oleh Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian,
tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan
mudah. Dalam upaya pencapaian tujuannya, Bank Indonesia menyadari bahwa
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi perlu diselaraskan
untuk mencapai hasil yang optimal dan berkesinambungan dalam jangka panjang.
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan
untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan terhadap
kondisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan
inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan, karena faktor
ini bersifat sementara yang akan hilang
dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sementara inflasi juga dapat
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat
kejutan seperti yang kerap terjadi yakni kenaikan harga minyak dunia dan adanya musibah gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi
yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile food
dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK. Dengan demikian,
kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila
terdapat kejutan yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di
tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.
Dengan mempertimbangan bahwa laju inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang bersifat
kejutan tersebut, maka
pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara
pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi. Kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral sudah selayaknya dilakukan
oleh pemerintah bersama Bank Indonesia demi tercapainya sasaran inflasi. Lebih jauh, karakteristik inflasi
Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan dari sisi penawaran
memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.
Saat ini
secara teknis, koordinasi antara
pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan
Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi di tingkat pusat sejak tahun 2005.
Anggotanya terdiri dari Bank
Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen
Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan,
dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi
tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan tim ini diperluas hingga ke level daerah. Ke depan,
koordinasi antara Pemerintah dan BI ini diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum Tim Koordinasi
Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi baik pusat maupun daerah
sehingga inflasi yang rendah dan stabil akan tercapai. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
dan berkelanjutan dapat terwujud seperti yang diharapkan.
Bank
Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah telah menetapkan target inflasi untuk tahun 2013, 2014, dan 2015. Melalui Peraturan
Menteri Keuangan No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012, sasaran
inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode tiga tahun mendatang , masing-masing
sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% dengan
deviasi masing-masing ±1%.
Sasaran
inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan
masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan. Dengan demikian
tingkat inflasi diharapkan dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil.
Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen untuk mencapai
sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut, melalui koordinasi kebijakan yang
konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi agar tetap rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan
ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu pada sasaran inflasi yang telah
ditetapkan di atas.
Sebelum UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi sebenarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia sendiri, namun setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas
Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah. Berikut adalah perbandingan target inflasi dan aktual
inflasi dalam periode sebelas tahun terakhir serta laporan inflasi (Indeks Harga Konsumen) berdasarkan
perhitungan inflasi tahunan.
Tabel 1. Perbandingan
Target Inflasi dan Aktual Inflasi
Tahun
|
Target Inflasi
|
Aktual Inflasi (%,yoy)
|
2001
|
4% - 6%
|
12,55
|
2002
|
9% - 10%
|
10,03
|
2003
|
9 ± 1%
|
5,06
|
2004
|
5,5 ± 1%
|
6,40
|
2005
|
6 ± 1 %
|
17,11
|
2006
|
8 ± 1%
|
6,60
|
2007
|
6 ± 1%
|
6,59
|
2008
|
5 ± 1%
|
11,06
|
2009
|
4,5 ± 1%
|
2,78
|
2010
|
5 ± 1%
|
6,96
|
2011
|
5 ± 1%
|
3,79
|
*) berdasarkan PMK
No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012.
sumber : http://www.bi.go.id
Dari tabel di atas
terlihat bahwa angka inflasi mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari
tergetnya di tahun 2001, 2005, dan 2008. Di tahun 2001 terjadi kenaikan yang
signifikan dari tergetnya dimungkinkan karena masih dalam proses kestabilan
harga pasca krisis yang melanda di era awal reformasi. Ketika itu masyarakat
dihadapkan dengan keadaan harga-harga yang terus berubah dan
meningkat sehingga masyarakat tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus
merosot. Di tahun 2005, seperti
yang kita ketahui bersama terjadi kejutan kenaikan harga minyak dunia dan
menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri. Demikian pula
yang terjadi di tahun 2008, yang menyebabkan harga-harga barang di masyarakat
mengalami kenaikan.
Tabel 2. Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen) berdasarkan
perhitungan inflasi tahunan
Periode
|
Tingkat
Inflasi
|
Mei 2012
|
4.45 %
|
April 2012
|
4.50 %
|
Maret 2012
|
3.97 %
|
Februari 2012
|
3.56 %
|
Januari 2012
|
3.65 %
|
Desember 2011
|
3.79 %
|
November 2011
|
4.15 %
|
Oktober 2011
|
4.42 %
|
September 2011
|
4.61 %
|
Agustus 2011
|
4.79 %
|
Juli 2011
|
4.61 %
|
Juni 2011
|
5.54 %
|
Mei 2011
|
5.98 %
|
April 2011
|
6.16 %
|
Maret 2011
|
6.65 %
|
Februari 2011
|
6.84 %
|
Januari 2011
|
7.02 %
|
Desember 2010
|
6.96 %
|
November 2010
|
6.33 %
|
sumber : http://www.bi.go.id
Tabel 3. Inflasi dan IHK
Indonesia Tahun 2008 - 2012 Menurut Bulan
BULAN
|
TAHUN 2008
|
TAHUN 2009
|
TAHUN 2010
|
TAHUN 2011
|
TAHUN 2012
|
|||||
IHK
|
INFLASI
|
IHK
|
INFLASI
|
IHK
|
INFLASI
|
IHK
|
INFLASI
|
IHK
|
INFLASI
|
|
Jan
|
158.26
|
1.77
|
113.78
|
-0.07
|
118.01
|
0.84
|
126.29
|
0.89
|
130.90
|
0.76
|
Feb
|
159.29
|
0.65
|
114.02
|
0.21
|
118.36
|
0.30
|
126.46
|
0.13
|
130.96
|
0.05
|
Mar
|
160.81
|
0.95
|
114.27
|
0.22
|
118.19
|
-0.14
|
126.05
|
-0.32
|
131.05
|
0.07
|
Apr
|
161.73
|
0.57
|
113.92
|
-0.31
|
118.37
|
0.15
|
125.66
|
-0.31
|
131.32
|
0.21
|
Mei
|
164.01
|
1.41
|
113.97
|
0.04
|
118.71
|
0.29
|
125.81
|
0.12
|
131.41
|
0.07
|
Jun
|
110.08
|
2.46
|
114.10
|
0.11
|
119.86
|
0.97
|
126.50
|
0.55
|
N.A
|
N.A
|
Jul
|
111.59
|
1.37
|
114.61
|
0.45
|
121.74
|
1.57
|
127.35
|
0.67
|
N.A
|
N.A
|
Agt
|
112.16
|
0.51
|
115.25
|
0.56
|
122.67
|
0.76
|
128.54
|
0.93
|
N.A
|
N.A
|
Sep
|
113.25
|
0.97
|
116.46
|
1.05
|
123.21
|
0.44
|
128.89
|
0.27
|
N.A
|
N.A
|
Okt
|
113.76
|
0.45
|
116.68
|
0.19
|
123.29
|
0.06
|
128.74
|
-0.12
|
N.A
|
N.A
|
Nov
|
113.90
|
0.12
|
116.65
|
-0.03
|
124.03
|
0.60
|
129.18
|
0.34
|
N.A
|
N.A
|
Des
|
113.86
|
-0.04
|
117.03
|
0.33
|
125.17
|
0.92
|
129.91
|
0.57
|
N.A
|
N.A
|
Tahunan
|
11.06
|
2.78
|
6.96
|
3.79
|
1.15
|
Adapun tujuan Bank Indonesia seperti yang
telah dijelaskan di awal ulasan ini salah satunya adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal
7 tentang Bank Indonesia. Kestabilan
nilai rupiah yang dimaksud di sini antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang
tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter. Kerangka kebijakan ini disebut juga dengan
istilah Inflation Targeting
Framework dengan
menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Kerangka kebijakan ini diterapkan secara formal sejak Juli
2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang
primer sebagai sasaran kebijakan moneter. Dengan
kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi
kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan
sasaran-sasaran moneter, seperti
uang beredar atau suku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Pengendalian sasaran-sasaran tersebut
secara operasional dilakukan dengan operasi pasar terbuka di pasar uang, baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Selain
itu, Bank Indonesia juga dapat
melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip Syariah.
Demi mencapai
sasaran inflasi, maka kebijakan
moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih
sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Selain
melalui evaulasi, transparansi dan
akuntabilitas kebijakan kepada publik juga diterapkan dalam kebijakan
ini. Kebijakan moneter juga
tercermin dalam penetapan suku bunga kebijakan (BI rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku
bunga. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi
inflasi.
Dalam
rangka menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesi harus mempunyai jangkar
nominal. Yang dimaksud dengan jangkar nominal adalah variabel nominal seperti
indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar. Hal ini dibuat untuk dasar atau patokan bagi
pembentukan harga. Misalnya saja jika nilai tukar dijadikan target, maka
inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik. Jangkar nominal ini
juga berfungsi sebagai pedoman ke mana kebijakan moneter akan diarahkan. Dengan
demikian, masyarakat dapat mengetahui dengan jelas arah inflasi ke depan,
sehingga dapat membuat ekspetasi inflasi yang diperlukan dalam usahanya. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka Bank
Indonesia akan memberikan penjelasan
kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi
sesuai dengan sasarannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bank
Indonesia selaku bank sentral mempunyai tujuan mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia
mempunyai tugas utama, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut adalah dengan menetapkan
sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang
ditetapkan. Dengan demikian, tingkat keberhasilan Bank Indonesia lebih mudah
diukur dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Dalam
menetapkan targetnya, Bank Indonesia menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Alasan dipilihnya Indeks Harga Konsumen sebagai target Bank Indonesia antara
lain adalah merupakan alat ukur paling tepat dalam mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat karena IHK mengukur indeks biaya hidup. Sehingga hasil
pengukuran Indeks Harga Konsumen selalu memiliki kualitas yang lebih baik dan
selalu tersedia secara tepat waktu.
Bank
Indonesia juga berperan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat secara
terbuka mengenai rencana kebijakan dan penetapan sasaran-sasaran laju inflasi
serta perkembangan kondisi ekonomi dan keuangan. Hal ini merupakan bentuk
komitmen Bank Indonesia terhadap pengendalian laju inflasi. Masyarakat dapat
mengetahui kondisi dan arah perekonomian di masa mendatang, sehingga dapat
melakukan perencanaan kegiatan ekonominya dengan lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar